PENDAHULUAN
Filsafat Islam tumbuh dan berkembang di bawah naungan Islam, dipengaruhi oleh ajaran-ajarannya dan hidup di bawah suasana peradabannya. Kaum muslimin, di Timur maupun di Barat ikut memberikan andil tanpa memperhitungkan adanya perbedaan daerah atau tempat tinggal, bahkan tidak ada masalah andaikata pihak non Muslim yang berada di bawah naungan Islam ambil bagian. Fulsafat Islam memiliki keunikan dalam topik dan isu yang digarap, problem yang coba dipecahkan, dan metode yang digunakan dalam memecahkan permasalahan-permasalahan itu.
Filsafat Islam selalu berusaha untuk mendamaikan wahyu dan nalar, pengetahuan dan keyakinan, serta agama dan filsafat. Filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan bahwa pada saat agama berpelukan dengan filsafat, agama mengambil keuntungan dari filsafat sebagaimana filsafat juga mengambil manfaat dari agama. Pada intimya, filsafat Islam adalah hasil kreasi dari sebuah lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang, dan jelasnya, filsafat Islam adalah agama dan spiritual. Meskipun filsafat Islam berorientasi religius, ia tidak mengabaikan isu-isu besar filsafat, seperti problem keberadaan dalam waktu, ruang, materi dan kehidupan. Cara pengkajian filsafat Islam terhadap epistemology pun unik dan berkomprehensif. Ia membedakan antara kedirian (nafs) dan nalar, potensi bawaan sejak lahir dan Al-muktasab, ketetapan dan kesalahan pengetahuan dzanni dan qath’i. Filsafat Islam juga mengkaji tentang defenisi serta klasifikasi kebaikan dan kebahagiaan.
BAB II PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK FILSAFAT ISLAM
Filsafat Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan filsafat didasarkan pada Al-Qur’an sebagai sumber dorongan dan sumber informasi. Akan tetapi kebanyakan orang sering salah pengertian terhadap filsafat Islam. Mereka mengira pembicaraan filsafat Islam bertentangan dengan Al-Qur;an dan hadits. Padahal, yang dibicarakan didalamnya adalah masalah-masalah yang tidak ditemukan penegasannya dalam Al-qur’an dan hadits dengan kata lain filsafat dari filosof Muslim ini dapat disebut hasil ijtihad, sama posisinya dengan hasil ijtihad ahli fiqih dalam bidang hukum Islam dan termasuk kebudayaan. Karakteristik filsafat Islam yaitu:
1. Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam, dan roh.
2. Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas filsafat Islam sebelumnya seperti filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat).
3. Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat antara kaidah dan hikmah, antara wahyu dan akal.
Pendapat Al-Farabi bahwa yang menjadi kepala Negara adalah nabi atau filosof. Begitu pula pendapat Al-Farabi pada nadhariyyat al-nubuwwat (filsafat kenabian). Bahwa nabi dan filosof sama-sama menerima kebenaran dari sumber yang sama, akan tetapi ada perbedaan dari segi teknik. Dalam keadaan seperti di atas timbul dan berkembangnya filsaft Islam dibawah naungan keagamaan yang tidak kurang ketelitian dan kecermatannya dalam menyelesaikan masalah bila dibandingkan dengan filsafat lain. Jadi yang disebut dengan filsafat islam adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran Islam.
TOKOH FILSAFATNYA
A. Ikhwan Al-Shafa
1. Sejarah Lahir
Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah nama sekelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte syi’ah ismailiyah abad ke 4 H (10 M) di Basrah. Kerahasiaan kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa, Ahl al-Adl dan Abna al-Hamd.[1] Kerahasiaan organisasi ini dipengaruhi oleh paham Taqiyyah, karena basis kegiatannya berada di tengah masyarakat mayoritas Sunni. Selain itu, kerahasiaan ini karena mereka mendukung faham Mu’tazilah yang telah dihapuskan oleh khalifah Abbasiyah, al-Mutawakkil, sebagai mazdhab negara. Menurut Hana al-Fukhuri, nama Ikhwan al-Shafa, diekspresikan dari kisah merpati dalam cerita Kalillah wa Duannah yang diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa.
II. Tujuan
Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan atau rekonsiliasi (talfiq) agama dengan filsafat dan juga antara agama-agama yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan mereka bahwa syari’at telah dikotori bermacam-macam kejahilan dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan membersihkannya ialah filsafat. Kemudian mereka mengklaim bahwa apabila dipertemukan antara filsafat yunani dan syari’at maka akan menghasilkan kesempurnaan. Ikhwan al-Shafa seakan menempatkan filsafat di atas agama. Mereka mengharuskan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka dalam bidang agama. Menurut mereka ungkapan al-Qur’an yang berkonotasi inderawi dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Badui yang berkebudayaan bersahaja. Sedangkan bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mereka haruskan memakai takwil untuk melepaskan diri dari pengertian lafzi dan inderawi. Untuk itulah Ikhwan berusaha dengan gigih memadukan filsafat dengan agama dengan menurunkan metafisika dan ilmu pengetahuan dari puncak spekulatif murni yang tidak dapat dijangkau secara aktif-praktis.
III. Tokoh-Tokoh
III. Tokoh-Tokoh
Pelopor perhimpunan politika – religius ini yang terkenal, antara lain Ahmad Ibn Abdullah, Abu Sulaiman Muhammad Ibn Nashr al-Busti, yang populer dengan al-Muqaddasi, Zaid Ibn Rifa’ah, Abu al-Hasan Ali Ibn Harun al-Zanjani, Abu Ahmad al-Nahrajuri (Mihrajani), Al-Aufi, dan Zaid Ibn Rifa’ah. Menurut al-Sijistani, orang-orang ini merupakan kelompok sarjana yang menyelenggarakn pertemuan dan menyusun risalah-risalah Ikhwan al-Shafa, rangkaian kata yang sebenarnya diciptakan oleh al-Muqaddasi.
IV. Teori Penciptaan dan Filsafat Manusia
IV. Teori Penciptaan dan Filsafat Manusia
Ketika kita membicarakan filsafat dan pemikiran Ikhwan al-Shafa, sesungguhnya banyak hal yang menarik untuk dikaji lebih serius, karna kelompok ini (Ikhwan al-Shafa) memang terkesan sedikit misterius, dengan cara menyembunyikan identitas para tokoh-tokohnya. Dan disamping itu kelompok ini juga disinyalir sebagai kelompok yang membawa pencerahan bagi para filosof muslim.
Kelompok ini tidak hanya mengajarkan filsafat an sich tapi juga mengarah pada filsafat yang mengarah ke spiritualitas. Sebagian doktrin mereka mengarah pada upaya rekonsiliasi filsafat dengan agama, yang diawali dengan sebuah penjelasan bahwa pada dasarnya agama dan filsafat bukanlah hal yang saling bertentangan, karna keduanya mempunyai satu tujuan, yaitu mengenali dan mendekatkan diri pada Realitas Tertinggi. Hal ini akan membawa implikasi kepada usaha eklektis (talfiq) antar berbagai agama. Mereka memadukan berbagai agama bahkan ajaran apapun. Kemudian mengambil hal yang menurut mereka penting dan dapat memperkuat pilat-pilar filsafat. Disamping itu mereka juga mempunyai kecenderungan kearah tasawuf dan asketik (zuhud) dalam menjalankan semua doktrin filsafat mereka.
Karya-karya yang dihasilkan Ikhwan al-Shafa memang lebih cenderung berbentuk Ensiklopedik. Setidak-tidaknya tercatat sebanyak 52 buah karya yang dihasilkan para tokoh Ikhwan al-Shafa yang terkenal dengan sebutan Rosa’il Ikhwan al-Shafa, karya-karya itu merupakan ensiklopedia tentang ilmu pengetahuan dan filsafat.
Ditinjau dari segi isi karya mereka, dapat dikategorikan dalam 4 kategori umum, yaitu tentang Matematika, tentang Fisika dan Ilmu Alam, kemudian tentang Risalah ilmu jiwa yang mencakup metafisika Pytagoreanisme dan kebangkitan alam, dan yang terakhir tentang ilmu ketuhanan yang meliputi kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, termasuk tentang filsafat manusia, tentang akidah, kenabian dan keadaannya, termasuk kekuasaan Allah.
Dari Apa yang ada dalam pemikiran Ikhwan al-Shafa, tentang Teori Penciptaan memang tak jauh dari pengaruh Pytagoras dan Platinus. Menurut mereka, Allah adalah pencipta dan mutlak Esa.
Pembahasan dimulai dari angka “satu”. Menurut mereka satu yang sejati sama dengan sesuatu (thing/syai’) yang tidak terbagi dan sangat umum. Kejamakan baru mulai muncul apabila satu yang sejati tadi ditambahkan dengan satu yang lain. Dengan demikian, angka satu dapat dipandang sebagai dasar semua angka, yang sendirinya bukanlah angka.
Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka dua, dan dalam angka dua terkandung pengertian angka kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angak satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadi kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Allah lebih dahulu dari yang lainnya, seperti dahulunya angka satu dari angka lainnya.
Angka-angka ini kemudian menurut Ikhwan al-Shafa dianggap memiliki cirri-ciri fisik dan metafisik yang berfungsi sebagai petunjuk-petunjuk untuk memahami alam dan dapat mengantarkan seseorang untuk mengenali jiwa, alam spiritual dan pada akhirnya Tuhan semesta alam.
Dengan kemauan sendiri Allah menciptakan Akal Pertama atau Akal Aktif secara emanasi (al-faidh). Kemudian Allah menciptakan jiwa dengan perantara akal. Selanjutnya, Allah menciptakan materi pertama (al-Hayyula al-ula). Dengan demikian, jika Allah Qodim, lengkap, dan sempurna, maka Akal Pertama juga demikian halnya. Pada Akal Pertama lengkap dengan segala potensi yang akan muncul pada wujud berikutnya. Sementara jiwa terciptanya secara emanasi dengan perantara akal, maka jiwa qodim dan lengkap, tetapi tidak sempurna. Demikian juga dengan materi pertama, karena terciptanya secara emanasi dengan perantara jiwa, maka materi pertama adalah qodim, tidak lengkap, dan tidak sempurna.
Jadi Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung, sehingga kemurnian tauhid dapat terpelihara dengan sebaik-baiknya. Secara kronologis rangkaian proses emanasi itu bermula dari Allah Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah Akal Aktif atau Akal Pertama (al-Aql al-Fa’al), kemudian dengan perantara akal Allah menciptakan Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyyat), selanjutnya Allah menciptakan materi pertama (al-Hayyula al-Ula), dan dilanjutkan dengan adanya Alam Aktif (al-Thabiat al-Fa’ilat), setelah itu terwujudlah Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq), yang menghantarkan pada terwujudnya Alam Planet-planet (Alam al-Aflak), dan setelah itu muncullah Unsur-unsur alam terendah (Anashir al-Alam al-Sufla), yaitu air, udara, tanah, dan api. Dan yang terakhir adalah materi gabungan, yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu, manusia termasuk dalam kelompok hewan yang mampu berbicara dan berpikir.
Selaras dengan prinsip matematika Ikhwan al-Shafa, kedelapan mahiyah di atas bersama zat Allah yang muthlak, maka sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan. Angka sembilan ini juga membentuk substansi organik pada tubuh manusia, yakni tulang, sumsum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut, dan kuku.
Proses penciptaan secara emanasi di atas, menurut Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi dua: yaitu penciptaan secara sekaligus (daf’atan wahidan) dan penciptaan secara gradual (tadrijiyyan). Termasuk dalam penciptaan secara sekaligus adalah Alam Rohani, yakni, Akal Aktif, Jiwa Universal, dan Materi Pertama. Sementara itu, penciptaan secara gradual adalah apa yang mereka sebut dengan alam jasmani, yakni Jisim Mutlak, dan seterusnya akan membentuk perubahan-perubahan dalam perjalanan masa.
Tentang alam semesta, menurut Ikhwan al-Shafa, bukan qodim tetapi hadis (baru). Karena alam semesta ini, diciptakan Allah dengan cara emanasi gradual, yang mempunyai awal, dan akan berakhir pada masa tertentu.[5]
Tentang alam semesta, menurut Ikhwan al-Shafa, bukan qodim tetapi hadis (baru). Karena alam semesta ini, diciptakan Allah dengan cara emanasi gradual, yang mempunyai awal, dan akan berakhir pada masa tertentu.[5]
Ikhwan al-Shafa meyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu dan Esa dalam segala pengertiannya, “tidak memandang bijak apabila menciptakan segala hal tunggal dalam semua aspek, atau banyak dalam semua aspeknya….karena itu, dia menciptakan semua makhluk Nya sedemikian rupa sehingga bersifat satu dalam hal materi dan banyak dalam hal bentuk.” Tuhan juga tidak memandang biajksana apabila segala sesuatu bersifat ganda, kelipatan tiga, atau kelipatan empat, dan seterusnya, tetapi dalam banyak keragaman yang luar biasa.
Dalam rasail Ikwan al-Shafa itu pula, mereka menuturkan bahwa pada tataran epistemologis dan religius, manfaat studi angka adalah menghantarkan seseorang pada pengenalan jiwa, dan pada gilirannya pengenalan Tuhan, yang hanya mungkin ditempuh lewat jalur filsafat. Pandangan ini selaras dengan sabda Nabi Saw. Yang berbunyi “Barang siapa mengenal dirinya (jiwanya), dia akan mengenal Tuhannya.”
Sebagaiman para filosofis Muslim lainnya, Ikhwan al-Shafa juga melakukan al-tanzih (menyucikan Allah dari segala sesuatu yang tidak layak bagi Allah) serta meniadakan sifat al-tasybih (menyucikan Allah dari segala sesuatu yang menyerupaiNya). Ia adalah Zat Yang Esa, yang tidak mampu makhluk-Nya untuk mengetahui hakikat-Nya. Ia pencipta segala yang ada dengan cara emanasi (al-faidh) dan memberi bentuk. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur, seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaiman bilangan satu tidak dapat dibagi dan tidak serupa dengan bilangan lain. Demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupai-Nya. Akan tetapi, Ia jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar.
Mereka juga berpendapat, bahwa manusia terdiri dari dua unsur, “rohani” dan “jasmani”. Masuknya jiwa kedalam tubuh manusia merupakan hukuman kepada jiwa yang telah melakukan pelanggaran (seperti yang terdapat dalam kisah klasik Adam dan Hawwa). Sebagi akibatnya, jiwa terusir dari alam rohani dan turun ke bumi masuk kedalam tubuh. Setelah bersatu dengan tubuh, jiwa menjadi bodoh, karenanya mereka harus dididik sedemikian rupa dengan ajaran yang diwahyukan kepada Nabi dan pangajaran filsafat. Hal ini bertujuan agar manusia tahu tentang keyakinan dan pengetahuan akan realitas tertinggi dan tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia.[6] Cara lain adalah dengan perumpamaan mereka yang lebih kongkrit tentang anak yang dilahirkan dengan “zodiac yang baik”) demikian istilah mereka(, nantinya akan mampu menginsafi jiwanya yang tidak lain adalah dari substansi spiritual.
Setelah sadar, jiwa itu akan terus berjuang mendapatkan kembali tanah sejati alam kawruhan melalui kesaksian spiritualnya tentang keberadaan Tuhan dan belajar ajaran filsafat yang luhur seperti yang diajarkan Socrates, sambil mengamalkan mistisisme, asketisme, dan monoteisme seperti yang diajarkan oleh ajaran Islam.[7] Kehidupan rohani dan asketik menjadi prinsip hidup guna mencapai pembersihan jiwa. Setelah jiwa manusia bersih, maka akan mampu mencapai alam malakut, alam rohani yang terdapat di bawah langit dan bintang. Di sana akan menemukan segala macam kabahagiaan.[8] Tetapi itu tidak cukup, karena jiwa menginginkan yang labih tinggi dari itu, yaitu cinta yang menghasilkan ekstase.[9]
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar tidak tersesat, maka dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Anak-anak pada mulanya seperti kertas putih yang bersih dan belum ada coretan. Lembaran putih tersebut akan tertulis dengan adanya tanggapan pancaindra yang menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi (al-quwwat al-mutakhoyyilat). Dari sini meningkat ke daya berpikir (al-quwwat al-mufakkirat) yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia sanggup membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan (al-quwwat al-hafizhah) yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara (al-quwwat al-nathiqat), yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata yang bermakna kepada pendengar atau menuangkannya lewat bahasa tulis kepada pembaca.
Manusia selain mempunyai indra Zahir, juga memiliki indra batin yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep. Sementara itu, tentang kebangkitan di akhirat, Ikhwan al-Shafa sama pendapatnya dengan filosof pedahulunya, yakni kebangkitan berbentuk rohani. Surga adalah kesenangan dan neraka adalah penderitaan.[10]
Maka dapatlah dimengerti bila Ikhwan al-Shafa tidak segan-segan menggunakan setiap doktrin islam ataupun non islam sebagi pilar filsafatnya. Semua itu dilakukan demi sebuah tujuan, mendapatkan keselamatan lewat penyucian diri dalam kehidupan ini. Dengan kata lain, mereka adalah penyebar kesucian yang dicapai melalui jalan asketisme, hidup dengan mengekang diri dan selalu berbuat kebajikan. Tiang-tiang doktrin itu adalah toleransi, saling tolong-menolong, dan filsafat eklektisme yang memanfaatkan setiap teks yang dapat menunjang setiap ajaran mereka.[11] Jadi intinya adalah penyucian diri untuk mencapai ketenangan jiwa dan kebahagiaan yang hakiki.
Semoga makalah kecil ini dapat berguna, dan dapat dijadikan refleksi menuju arah positif dan dapat dijadikan inspirator bagi pemikiran Islam yang progresif dan membawa kemajuan bagi kita semua.
B. Sejarah Ikhwan al-Shafa dan Risalahnya
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa (ÇÎæÇä ÇáÕÝÇ) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak-yang saat itu merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10 Masehi. Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang terkenal itu.
Karya monumental Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan identitasnya. Rasail ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar di bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti (w.1008). Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan al-Shafa di daratan Spanyol. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka. Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian (1) pendahuluan, disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5) geografi, (6) ”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi, dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles), hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi, kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasail adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah.
C. Pemikiran Ikhwan al-Shafa terhadap Pendidikan, Agama, dan Filsafat.
1. Klasifikasi Ilmu
Ikhwan al-Shafa membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika, dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis, etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang, langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa. Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme. Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud, mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas. Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan, hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
2. Konsep Pendidikan Ikhwan al-Shafa
a. Cara Mendapatkan Ilmu
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan. Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme). Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap direproduksi.
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar (kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah). Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat. Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b. Sosok Ideal Guru
Bagi Ikhwan, sosok guru dikenal dengan ashhab alnamus. Mereka itu adalah mu’allim, ustadz dan mu’addib. Guru ashhab alnamus adalah malaikat, dan guru malaikat adalah jiwa yang universal, dan guru jiwa universal adalah akal aktual; dan akhirnya Allah-lah sebagai guru dari segala sesuatu.
Guru, ustadz, atau mu’addib dalam hal ini berada pada posisi ketiga. Urutan ini selanjutnya digambarkan sebagai berikut:
1). Al-Abrar dan al-Ruhama, yaitu orang yang memiliki syarat kebersihan dalam penampilan batinnya dan berada pada usia kira-kira 25 tahun.
2). Al-Ru’asa dan al-Malik, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan yang usianya kira-kira 30 tahun, dan disyaratkan memelihara persaudaraan dan bersikap dermawan.
3). Muluk dan Sulthan, yaitu mereka yang memiliki kekuasaan dan telah berusia 40 tahun.
4). Tingkatan yang mengajak manusia untuk sampai pada tingkatannya masing-masing, yaitu berserah dan menerima pembiasaan, menyaksikan kebenaran yang nyata, kekuatan ini terjadi setelah berusia 50 tahun.
3. Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun. Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani, untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapa pun.
Ikhwan al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Hukum (Arab: Syari’ah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum) oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan, kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris. Hanya orang-orang awam, yang tidak dapat berpikir mandiri secara memadai, yang memahami tema-tema ini secara harfiah. Tema-tema yang agak ringan, seperti Dia (Allah) menurunkan hujan dari langit (al-Hajj [22]: 63), juga harus dipahami secara simbolik: air dalam konteks ini adalah Al-Qur’an.
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris (secara batin), dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan. Sebagaimana ditulis dalam www.samuderailmufortuna.blogspot.com :
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang menggeser posisi syariat Islam yang telah menjadi "barang antik". Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:
a. Pengingkaran kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b. Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat umum yang mutawatir.
c. Bantahan implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di kehidupan dunia.
d. Interpretasi makna kafir dan azab secara maknawi.
e. Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan latihan dan kesucian hati.
f. Statemen berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas dari praktek ibadah/syariat.
g. Kecondongan pada keyakinan Syi'ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
h. Seruan terhadap pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu. Pendapat seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa penafsiran agama yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna esotoris/batiniyah daripada lahiriyah. Bagi mereka, hanya orang-orang awwam yang tidak bisa berpikir mandiri. Penafsiran esotoris ini lebih banyak dipengaruhi oleh paham Syiah.
4. Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu:
a. mengetahui Tuhan;
b. ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;
c. ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa, yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam;
d. ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah tangga), politik pribadi (akhlak);
e. ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.
Filsafat, kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.
Dalam memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan. Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider, yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan, sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”.
D. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris. Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai. Wallahu A’lam.
SUKHRAWARDI
Filsafat Isyraqiyyah atau iluminisme adalah sebuah pemikiran filosofis yang dasar epistemologinya adalah hati atau intuisi. Secara prosedural, logika yang dibangun adalah sama dengan logika emanasi dalam paripatetisme. Namun secara substansial keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di di kota kecil, Suhraward, Persia lau pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu.
Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filsof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak sengit penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).
Epistemologi Isyraqiyyah
Dalam bagian dari jenis keilmuan, filsafat iluminisme atau isyraqiyyah ini adalah bagian dari pengetahuan khudluri (knowledge by preson). Ilmu khudluri adalah ilmu yang didapatkan secara langsung oleh seseorang melalui pengalaman kehidupannya. Dalam pengetahuan dan kesadaran ini, pengetahuan dan subyek serta obyek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Kemanunggalan subyek dan obyek pengetahuan ini adalah istanta (instance/mishdaq) paling sempurna dari kehadiran obyek pengetahuanb pada subyek pengetahuan. Karena prinsip dasar illuminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya, serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu. Apa yang ingin dijelaskan oleh Suhrawardi dalam filsafatnya adalah pengalaman pribadinya sendiri, yaitu pengalaman sehari-hari yang sampai pada titik tertentu ia bisa mencapai realitas puncak tertinggi (ultimate reality).
Dengan demikian, metodologi untuk mendapatkan pengetahuan ini bukanlah melalui cerapan indera, tetapi melalui pelatihan spiritual atau riyadlah. Karena pengetahuan semacam ini, saran yang dibutuhkan adalah kebersihan dan kesucian hati. Bagi seseorang yang mencapai kebersihan hati, maka secara langsung ia akan mendapatkan pengalaman tentang realitas hakiki (ultimate reality). Dalam perolehanya jiwa atau hati (qolb) mengalami keterbukaan (mukasyafah) sehingga ia akan terlimpahi oleh pancaran cahaya dari sumber cahaya itu sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Suhrawardi sendiri bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverivikasinya secara logis rasional.
Kemudian bagaimana gambaran atau bentuk dari penegtahuan iluminasi yang masuk kategori klhudluri ini? Secara umum sebenarnya hampir sama dengan filsafat emanasi. Di situ terdapat tangga-tangga wujud (existence) mulai dari wujud satu hingga sebelas. Jadi secara formal bentuknya sama dengan filsafat emanasi dalam parepatatisme yang mendahuluinya, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai hirarki-hirarki, dari yang paling atas sampai terbawah. Hanya saja kalau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek, maka dalam filsafat Isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya).
Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam materi.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam materi.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal (local wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur, karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.
MULLA SADRA
Di bulan Mei-Juni setiap tahunnya di Iran digelar seminar untuk mengenang seorang pemikir dan filsuf besar yang sangat berjasa dalam mengembangkan filsafat Islam. Tak sedikit yang meyakini bahwa tanpa beliau filsafat Islam tak mungkin dikenal seperti saat ini. Pemikir besar ini adalah sang hakeem dan faqeeh, Mulla Sadra.
Henry Corbin, filsuf besar kontemporer Prancis mengatakan, "Sadruddin Mohammad Shirazi yang dikenal dengan nama Mulla Sadra adalah orang yang berhasil menapak di puncak filsafat Iran dan Islam. Karya pemikirannya masih mempengaruhi pemikian filsafat Iran hingga hari ini. Dia meninggalkan lebih dari 45 karya besar penulisan. Karyanya yang paling besar adalah kitab Al-Asfar Al-Arba'ah yang setelah ditulis buku itu menjadi pijakan bagi pemikiran para cendekiawan Iran. Dalam karyanya yang memberikan penjelasan atas kitan Ushul Kafi, Mulla Sadra tampil layaknya juru bicara pemikiran iluminasi yang melahirkan sebuah filsafat nabawi. Beliau juga menulis tafsir beberapa surah Al-Qur'an. Dengan karya-karya besarnya, Mulla Sadra menunjukkan bagaimana filsafat di dunia Islam Syiah berkembang dengan pesat di saat negeri-negeri Islam lainnya mengalami stagnansi."
Mulla Sadra adalah seorang pemikir yang jeli dan teliti. Ilmunya yang dalam nampak pada kepribadiannya yang penyabar dan kesalehannya. Ia adalah figur ulama yang bertaqwa yang hanya melangkah demi keridhaan Allah. Kehidupannya dipenuhi dengan zuhud, qanaah dan ibadah. Filsuf besar ini melaksanakan ibadah haji sebanyak tujuh kali dengan berjalan kaki. Dalam perjalanan pulang dari hajinya yang terakhir tahun 1050 Hijriyah, Mulla Sadra menutup mata untuk selamanya di sekitar kota Basra Irak.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa setiap tahun antara bulan Mei dan Juni di Iran digelar seminar tentang Mullah Sadra. Seminar Mulla Sadra tahun ini mengambil tema Hikmah Mutaaliyah dan Pengelolaan Keluarga. Sejumlah pemikir dan filsuf yang hadir dalam seminar ini membawakan makalah mereka tentang pemikiran Mulla Sadra. Ayatollah Sayid Mohammad Khamenei, Ketua Lembaga Hikmah Islam Sadra dalam sambutannya pada seminar ini mengatakan, "Para filsuf Muslim tidak pernah mengucilkan diri mereka dari masyarakat. Tak hanya itu, mereka bahkan memasukkan filsafat ke tengah masyarakat dan memanfaatkannya untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial. Di puncak pemikir adalah para nabi yang memikirkan kebaikan masyarakat umum."
Ayatollah Mohammad Khamenei mengenai pengaturan keluarga mengatakan, "Keluarga memiliki tanggung jawab untuk membantu mencapai kemuliaan insani. Menurut logika pertama kali seseorang harus membangun dirinya sendiri lalu membentuk keluarga dan kemudian masuk ke lingkungan sosial. Dalam hal ini, keluarga lebih diprioritaskan dibanding individu. Sebab, keluarga adalah landasan bagi terbentuknya tatanan sosial dan individu. Pendidikan akhlak setiap individu juga dimulai dari keluarga."
Pemikir Muslim ini menambahkan, "Keluarga juga memiliki pengaruh dalam politik. Tentunya yang dimaksudkan politik ini, bukan makna yang dikenal saat ini tetapi dalam arti mengatur sebuah masyarakat seperti yang biasa disebutkan dalam filsafat. Keluarga bukan hanya institusi pembentuk insan yang sehat tetapi juga pembimbing baginya dengan menunjukkan jalan kesuksesan di tengah masyarakat." Ayatollah Sayid Mohammad Khamenei lebih lanjut menyebut peran keluarga dalam membantu perkembangan dan penyempurnaan sisi kemanusiaan.
Pembicara lain dalam seminar Mulla Sadra adalah Dr. Gholam Reza Aavani, Ketua Yayasan Riset Hikmah dan Filsafat Iran. Aavani mengatakan, "Pengaturan adalah bagian dari hikmah kebijaksanaan dan ilmu yang di zaman dahulu mendapat perhatian besar di banyak negeri seperti Cina, India dan Iran kuno. Secara prinsipnya, akhlak yang semestinya tanpa keluarga atau keluarga tanpa akhlak tidak bisa dibenarkan. Dalam agama Konfosius ada lima hubungan penting yang diperlukan untuk meluruskan masyarakat. Kelima hubungan adalah, hubungan penguasa dengan rakyat, hubungan ayah dengan anaknya, hubungan saudara dengan saudaranya, hubungan suami dengan istri, dan hubungan teman dengan temannya. Di Iran kuno kelima hubungan ini mendapat perhatian yang besar."
"Mulla Sadra adalah ulama besar yang membaca pemikiran dan kata-kata Ahlul Bait Nabi SAW dengan hikmah. Melalui agama, Al-Qur'an dan Ahlul Bait, beliau membahas filsafat dan hikmah. Dalam hikmah Mulla Sadra menekankan soal ilmu dan pengamalan. Dari sana seseorang dapat mencapai kemampuan dalam mengatur keluarga. Keluarga adalah institusi yang membangun. Menurut pandangan Mulla Sadra, kita dapat mempengaruhi perkembangan kejiwaan dan spiritual anak bahkan sejak ia belum lahir ke dunia. Akhlak serta perilaku ayah dan ibu, menyantap makanan yang haram atau sebaliknya memperhatikan kesucian makanan, jauh sebelum kelahiran anak, berdampak pada kejiwaan dan pembentukan kepribadiannya."
Ketua Dewan Keilmuan Universitas Shahid Beheshti Tehran Dr Mostafa Mohaqqeq Damad yang juga menjadi pembicara dalam seminar ini mengatakan, "Masalah pengaturan rumah tangga dipandang penting oleh para filsuf sejak dahulu. Dewasa ini dalam sistem yang kini ada keluarga adalah bagian dari hak sipil. Meski demikian, keluarga adalah sebuah institusi yang tidak dirambah oleh hukum, yang ada di sana adalah cinta dan kasih sayang yang jauh lebih kuat dari aturan hukum."
Mohaqqeq Damad menambahkan, "Materi yang disampaikan oleh Mulla Sadra tentang pengaturan keluarga tidak detail, tetapi beliau menekankan soal prinsip kemuliaan insani. Mulla Sadra dengan tegas mengatakan kemuliaan insani adalah hal yang membuat manusia layak menyandang gelar khalifah Allah di muka bumi. Kemuliaan ini ada pada kekuatan keilmuan dan hikmah. Jika kekuatan ini tidak dimiliki manusia maka ia tidak lagi memiliki kelebihan. Mulla Sadra lantas mengulas pertanyaan tentang mengapa sebagian orang tidak memiliki kemuliaan ini? Beliau memaparkan beberapa hal diantaranya bahwa secara fisikal dan perilaku maupun tabiat, antara satu orang dengan orang lain ada perbedaan yang sering kali diwarisi dari orang tuanya. Faktor lain perbedaan adalah benih yang membentuk orang tersebut. Kesucian dan kekotoran darah ayah dan ibu akan berpindah kepada anaknya. Ada pula faktor lain yaitu perbedaan gaya hidup maupun kebiasaan baik dan buruk yang sangat berpengaruh pada pembentukan karakter seseorang. Ini semua kembali kepada keluarga. Karena itu, keluarga memiliki peran yang besar dalam melahirkan kemuliaan insani."
Filsafat tak asing di kalangan sarjana Muslim. Mereka banyak bergelut dengan filsafat dan mengembangkannya menjadi sebuah aliran filsafat tersendiri. Maka tak heran jika kemudian lahir filosof Muslim yang memberikan pengaruh besar dalam jagad filsafat. Sebut saja misalnya, Sadr al-Din Muhammad ibnu Ibrahim ibn Yahya al-Qawami al-Shirazi, yang dikenal dengan Mulla Sadra atau Sadr al-Muta'allihin. Para muridnya memanggilnya dengan sebutan Akhund. Ia dilahirkan di Shiraz, Iran, sekitar 1571, dari keluarga terpandang, Qawam. Ayah Mulla Sadra, Ibrahim bin Yahya Al Qawami Al Shirazi, merupakan orang berilmu dan saleh. Ia pun pernah menjabat sebagai Gubernur provinsi Fars. Sang ayah memiliki kekuasaan yang istimewa di kota Shiraz. Tak heran jika Mulla Sadra mendapatkan perhatian dan pendidikan yang terbaik. Apalagi berabad sebelumnya, Shiraz merupakan pusat ilmu, baik filsafat maupun ilmu tradisional lainnya. Kondisi ini membuatnya cepat menguasai beragam ilmu baik Bahasa Arab maupun Persia, Alquran dan Hadis serta bidang ilmu lainnya.
Meski demikian, hal itu tak membuat Mulla Sadra merasa puas. Maka untuk memuaskan rasa dahaganya akan ilmu, ia meninggalkan kota kelahirannya menuju Isfahan. Di sana ia mendapatkan bimbingan dari dua orang guru yang mumpuni keilmuannya. Yaitu Syekh Baha Al-Din Al-Amili, biasa disebut Syekh Baha'i, yang terkenal sebagai teolog, sufi, ahli hukum, filosof juga seorang penyair. Ilmu-ilmu keagamaan ia serap dari gurunya itu. Pada periode yang sama, Mulla Sadra juga mendapatkan bimbingan dari Sayid Muhammad Baqir Astrabadi, lebih dikenal Mir Damad, terutama ilmu-ilmu intelektual. Lalu ia meninggalkan Isfahan untuk menuju desa Kahak. Ia menjalani kehidupan menyendiri untuk memenuhi dahaga spiritualnya. Langkah yang ia tempuh juga merupakan upaya untuk menghindari tekanan yang ia terima dari kalangan intelektual lainnya terhadap doktrin gnostik dan metafisik yang ia lontarkan.
Tak hanya itu, jalan yang ia tempuh ternyata bertolak dari kesadaran dalam dirinya. Sebelumnya, ia begitu mengandalkan kemampuan intelektualnya. Mulla Sadra tersadar, seharusnya berserah diri kepada Allah dengan jiwa yang suci dan ikhlas merupakan jalan yang ia tempuh pula. Laku spiritual yang ia tempuh ternyata memberikan sebuah pencerahan diri. Ia menyatakan bahwa kebenaran mistik pada dasarnya adalah kebenaran intelektual. Pengalaman mistik merupakan pengalaman kognitif. Pemikirannya itu ia tuangkan dalam sebuah karya Al-Hikmah Al-Mutaaliyah fi Al-Asfar Al-Aqliyyah al-Arba'ah (Empat Perjalanan Intelektual). Empat perjalanan intelektual tersebut, yang pertama adalah perjalanan penciptaan menuju kepada kebenaran (al-haqq). Di sini, Mulla Sadra meletakkan dasar ontologinya, dan merupakan cerminan dari jalan sufi yang melakukan pengendalian hawa nafsu yang rendah.
Tak hanya itu, jalan yang ia tempuh ternyata bertolak dari kesadaran dalam dirinya. Sebelumnya, ia begitu mengandalkan kemampuan intelektualnya. Mulla Sadra tersadar, seharusnya berserah diri kepada Allah dengan jiwa yang suci dan ikhlas merupakan jalan yang ia tempuh pula. Laku spiritual yang ia tempuh ternyata memberikan sebuah pencerahan diri. Ia menyatakan bahwa kebenaran mistik pada dasarnya adalah kebenaran intelektual. Pengalaman mistik merupakan pengalaman kognitif. Pemikirannya itu ia tuangkan dalam sebuah karya Al-Hikmah Al-Mutaaliyah fi Al-Asfar Al-Aqliyyah al-Arba'ah (Empat Perjalanan Intelektual). Empat perjalanan intelektual tersebut, yang pertama adalah perjalanan penciptaan menuju kepada kebenaran (al-haqq). Di sini, Mulla Sadra meletakkan dasar ontologinya, dan merupakan cerminan dari jalan sufi yang melakukan pengendalian hawa nafsu yang rendah.
Pada perjalanan kedua, di dalam kebenaran dengan kebenaran, merupakan tahap di mana para sufi mulai tertarik dengan beragam manifestasi. Ia berhubungan dengan substansi yang sederhana, yaitu intelegensi, jiwa, dan tubuh termasuk bahasannya tentang ilmuilmu alam. Pada perjalanan ketiga, dari kebenaran menuju sebuah kreasi bersama kebenaran, yang merupakan pengalaman sufi annihilation in the Godhead, dalam hal ini, ia berhubungan dengan theodicy. Sedangkan perjalanan keempat adalah perjalanan bersama kebenaran dalam kreasi. Di mana ia memaparkan secara lengkap dan sistematik mengenai perkembangan jiwa manusia. Melalui karyanya ini, Mulla Sadra dianggap sebagai filosof yang membangkitkan kembali gairah filsafat kala itu. Pasalnya, ia memiliki kemampuan mengelaborasikan aliran filsafat Peripatetik yang diperkenalkan oleh Ibnu Sina yang dikemudian hari diusung pula oleh Nasir al-Din al Tusi. Selain itu, Filsafat Iluminasi yang diperkenalkan Shihab al-Din al-Suhrawardi, Mistitisme dari Sufisme Ibn al-'Arabi berkembang sampai abad kesepuluh.
Sejumlah filosof berupaya menggabungkan beragam warisan ini dalam karya tulis mereka. Namun, Mulla Sadra dapat melakukannya secara gemilang. Kemudian ia membentuk pemikirannya sendiri yang selanjutnya dikenal sebagai mazhab Al-Hikmah Al-Mutaa'liyah atau Metaphilosophy. Pada karyanya ini tak hanya memuat sintesis dari beragam pandangan terdahulu mengenai makna dari istilah dan konsep filsafat. Namun, ia mengemukakan bermacam definisi tentang hikmah atau filasafat. Misalnya, pada bagian pendahuluan karyanya, ia menyatakan bahwa hikmah tak hanya menekankan pengetahuan teoritis akan tetapi termasuk pula pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian dari kotoran yang bersifat material. Baginya, filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang tinggi dan memiliki asal-usul ketuhanan karena berasal dari para nabi. Tak hanya menulis, ia pun mengajarkan ilmunya. Allahwirdi Khan, Gubernur Shiraz kala itu, membangun lembaga pendidikan dan mengundangnya untuk mengajar di sana. Kedalaman ilmunya tak ayal membuatnya memiliki banyak murid yang datang tak hanya dari Shiraz. Hal inilah yang kemudian mampu mengembalikan Shiraz sebagai pusat ilmu. Mulla Sadra telah melahirkan banyak penerus yang memberikan kontribusi dalam perkembangan filsafat di Persia pada periode berikutnya. Paling tidak ada dua orang penerusnya yang sangat terkenal, yaitu Mulla Abd Al Razzak Lahiji dan Mulla Muhsin Faidh Khasyani. Razzak Lahiji membuat ringkasan kecenderungan aliran Paripatetik sang guru dalam Bahasa Persia, tak heran jika ia lebih dikenal di negerinya itu. Sedangkan murid lainnya, Kasyani lebih menekankan aspek gnostik yang diajarkan oleh Mulla Sadra. Keintiman hubungan murid guru ini, juga ditunjukkan dengan pernikahan keduanya dengan putri putri Mulla Sadra.
Kegiatan intelektual Mulla Sadra yang dipraktikkan dalam aktivitas mengajar dan menulis ia barengi dengan laku spiritual yang mengagumkan. Salah satu contohnya, ia menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki selama tujuh kali. Laku spritual yang semakin intens telah memberinya pencerahan-pencerahan bagi dirinya dalam menekuni dunianya. Sekembalinya dari tanah suci yang ketujuh kalinya, ia menderita sakit di Basrah. Mulla Sadra menghembuskan napas terakhirnya di Basrah pada 1640. Meski demikian, namanya tetap hidup hingga kini melalui karya tulisnya yang menarik perhatian para cerdik cendekia. Sebut saja karya monumentalnya, Al-Hikmah Al-Mutaaliyah fi Al-Asfar Al Aqliyyah Al- Arbaah. Karya lainnya, Al Syawahid Al Rububiyyah fi Al Manahij Al-Sulukiyyah, dianggap sebagai ringkasan dari Al-Hikmah Al-Mutaaliyah, ada juga Al-Mabda wa Al Maad salah satu karya Mulla Sadra yang berhubungan dengan metafisika, kosmogoni, dan eskatologi.
DAFTAR PUSTAKA
[3] H. Sirojudin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta,: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 148
[4] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan,2001), h. 65
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. 1990. Bumi Aksara: Jakarta
Magribi, Hamdan. Filsafat dan Teologi Pemikiran Islam.
Magribi, Hamdan. Filsafat dan Teologi Pemikiran Islam.
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. 2008. Bumi Aksara: Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar