BAB I PENDAHULUAN
Kondisi masyarakat umat Islam di semenanjung Arabia pada abad 18 M diwarnal dengan takhayul, ajaran animisme yang memuja pohonpohon besar, dan mengeramatkan kuburan para wali. Kejumudan, keterbelakangan, kekurafatan, dan kebid’ahan mewarnai citra umat Islam waktu itu yang telah merasuk ke dalam aktivitas kehidupan keagamaan. Baik di Madinah maupun Makkah, orang-orang yang berhaji tidak lagi melaksanakan ibadah ritual tersebut, sebagaimana yang dilakukan dan disunnahkan Nabi Muhammad Saw. Mereka lebih senang berziarah mengunjungi kuburan-kuburan dan tempat-tempat ziarah yang lainnya, seolah-olah itulah tujuan haji bagi mereka. Kondisi masyarakat yang demikian diperparah oleh munculnya berbagai ketimpangan sosial seperti perampokan, penjarahan, dan lain-lain.
Sikap taklid kepada guru-guru telah membuat matinya intelektualitas umat Islam dalam berkreasi dan berinovasi. Ajaran-ajaran para sufi telah membuat mereka terperosok ke dalam lubang kenistaan dengan menganggap bahwa para wali sebagai orang suci yang dapat membantu dan membimbing mereka dalam beribadah kepada Allah Swt. Bermacam-macam logika diciptakan untuk membenarkan praktik mereka, antara lain dengan mengatakan bahwa seseorang dalam beribadah kepada Tuhan harus melalui para wali, karena wali adalah orang yang sangat makbul ibadahnya dan mereka dapat membantu bimbingannya dalam memuluskan permintaan-permintaan kepada Allah Swt.
Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya gerakan Wahabi, dengan usaha menuntun masyarakat untuk kembali kepada jalan kebenaran. Seorang tokoh muncul dan Uyainah, salah satu kawasan di semenanjung Arabia, yaitu Muhammad ibn Abdul Wahab. Usaha-usaha yang dilakukan tidak sia-sia, karena telah menelurkan hasil yang nyata dalam masyarakat Arabia pada waktu itu. Dan dia telah berhasil menunjukkan dirinya sebagai pemurni akidah umat Islam. Banyak pengikut ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab ini, yang kemudian menjadi dikenal dengan gerakan Wahabi (Wahabiah), bahkan sampai sekarang
BAB II
PEMBAHASAN
Nama aliran “Wahabiah” dipertalikan dengan nama pendirinya, yaitu Muhammad bin Abdil Wahab (1115—1201 H / 1703- 1787 M), dan diberikan oleh lawan-lawan tersebut semasa hidup pendirinya, yang kemudian dipakai juga oleh penulis-penulis Eropa. Nama yang dipakai oleh golongan Wahabiah sendiri ialah “golongan Muwahhidin” (Unitarians) dan metodenya mengikuti jejak nabi Muhammad s.a.w. Mereka menganggap dirinya golongan Ahlussunnah, yang mengikuti pikiran-pikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang ditafsirkan oleh Ibnu Taimiah.
1. RIWAYAT HIDUP PENDIRINYA.
Muhammad bin Abdil Wahab dilahirkan di ‘Ujainah, yaitu sebuah dusun di Nadjed, daerah Saudi Arabia sebelah timur. Salah satu tempat belajarnya ialah kota Madinah, pada Sulaiman al.-Kurdi dan Muhammad al-Khayyat as-Sindi. Ia banyak mengadakan perlawatan dan sebagian hidupnya digunakan untuk berpindah-pindah dan satu negeri kenegeri lain. Empat tahun di Basrah, lima tahun di Bagdad, satu tahun di Kurdestan, dua tahun di Hamazan, kemudian pergi ke Isfahan. Kemudian lagi pergi ke Qumm dan Kairo, sebagai penganjur aliran Ahmad bin Hanbal.
Setelah beberapa tahun mengadakan perlawatan, ia kemudian pulang kenegeni kelahirannya, dan selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya, seperti yang dicantumkan dalam bukunya “at-Tauhid” (tebalnya 88 halaman, cetakan Makkah). Meskipun tidak sedikit orang yang menentangnya, antara lain dan kalangan keluarganya sendiri, namun ia mendapat pengikut yang banyak, bahkan banyak diantaranya yang dari luar ‘Ujainah.
Karena ajaran-ajarannya telah menimbulkan keributan-keributan dinegerinya, ia diusir oleh penguasa setempat, kemudian ia bersama keluarganya pindah ke Dar’iah, sebuah dusun tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud (nenek raja Faisal yang berkuasa sekarang) yang telah memeluk ajaran-ajaran Wahibiah, bahkan menjadi pelindung dan penyiarnya.
2. Sejarah Muhammad ibn Abdul Wahab
Muhammad ibn Abdul Wahab merupakan tokoh pendiri gerakan Wahabi. Muhammad ibn Abdul Wahab dilahirkan di Riyadh 1999/1111 H (Stodard, 1966: 30). Dalam keterangan lain, disebutkan bahwa ia dilahirkan di Nejed dekat jantung Padang Pasir Arab (Al-Bahi, 1987: 92). Harun Nasution menyebutkan bahwa ia dilahirkan di Uyainah, Saudi Arabia, dan meninggal pada 1792 M/1206 H. Dalam sumber lain, dituliskan bahwa ia wafat pada 1792 M/1206 H (Nurchalis, 1994: 92). Adanya perbedaan dalam pencatatan tahun kelahiran dan kematian Muhammad ibn Abdul Wahab oleh para sejarawan tersebut.sering terjadi oleh perbedaan cara perhitungan tahun yang digunakan. Wilayah Nejed adalah daerah pedalaman yang luas yang luput dan Imperium Turki Usmani. Di daerah ini, kemurnian ajaran Islam masih tenjamin. Penduduknya masih berpegang pada ajaran yang orisinil. Di sinilah Muhammad ibn Abdul Wahab mulai mempelajari Islam dari ayahnya, yang ketika itu menjabat hakim di daerah tersebut. Ia mendalami tafsir dan ilmu-ilmu hadis sebagaimana yang telah menjadi tradisi dalam pendidikan abad pertengahan.
Muhammad ibn Abdul Wahab sudah hafal Al-Quran ketika berumur sepuluh tahun. Kemudian ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan ke Madinah untuk menuntut ilmu syari’ah. Di sinilah ia berjumpa dengan Syaikh Muhammad Hayat Al-Sindi, penulis Hasyiah Shahjh Bukhanj, yang sangat besar pengaruhnya terhadap din Muhammad ibn Abdul Wahab. Selanjutnya, ia melakukan perjalanan dalam rangka mendalami ilmu agama ke Basrah, Baghdad, dan Damaskus. Banyak buku yang telah ia baca dan pelajari, tak terkecuali hasil buah tangan Ibnu Taimiyah yang di kemudian han sangat memengaruhi ide-ide penjuangannya. Oleh karena itu, gerakan Wahabi ini sering disebut dengan perpanjangan tangan atau pengejawantahan pemikiran Ibnu Taimiyah. Di Bashrah (1136 H/ 1724 M), ía mendapat motivasi yang kuat dan salah seorang gurunya untuk mengadakan dakwah secara terbuka guna mengajak umat Islam untuk kembali kepada kemurnian ajaran agama. Kegiatan tersebut mendapat respons yang negatif dan kalangan-kalangan tertentu yang berkepentingan di daerah tersebut.
Kondisi yang tidak kondusif tersebut membuat Muhammad ibn Abdul Wahab harus meninggalkan Basrah menuju Hunmaila pada tahun 1143 H/1730 M. Di sini, suasananya agak lebih menguntungkan dibandingkan ketika ada di Basrah. ini tenjadi karena ayahnya seorang pejabat yang dihormati di daerah tersebut. Setelah ayahnya meninggal, ia pindah ke Dhaniah, tempat kelahirannya dan menjadi menantu dari pengusaha setempat, Usman ibn Muhammad ibn Muhammad. Namun karena alasan politik, Muhammad ibn Abdul Wahab diminta oleh mertuanya untuk mengalihkan dakwahnya ke daerah lain (Harun, 1992: 61).
Dir’iyah adalah tujuan selanjutnya, mengingat kawasan ini jauh dan kekuasaan Turki Usmani dari otoritas kekuasaan di wilayah ini dipegang Amir Muhammad ibn Su’ud yang berkuasa pada tahun 1139-1179 H, yang secara politik sangat berpotensi dalam pengembangan ajaran-ajaran baru. Karena jauh dari penguasa Turki Usmani, sambutan pangeran Su’ud terhadap Muhammad ibn Abdul Wahab sangat positif, bahkan pangeran Su’ud bersedia membantunya dalam penyebaran dakwah baik secara kekuasaan maupun material. Bersama pangeran, ia terus menyebarkan dakwahnya di Nejed. Setelah pangeran wafat, maka dukungan kerajaan berlangsung terus terhadap dakwah Wahabi secara turun-temurun. Hal ini dibuktikan oleh dukungan murid, anak, dan cucu, yang antara lain:
- Su’ud ibn Abdul Aziz, seorang murid Muhammad bin Abdul Wahab
- Husain ibn Muhammad ibn Abdul Wahab, pemimpin negeri Dir’iyah
- Mi ibn Muhammad ibn Abdul Wahab, seorang ulama besar
- Ibrahim ibn Muhammad ibn Abdul Wahab, ulama besar dan peneliti
- Abdul Rahman ibn Khumais, seorang imam masjid istana Al Su’ud
- Hüsain ibn Ghannam, pengarang kitab dan ulama besar
- Syaikh Abdul Latif ibn Abdull Rahman ibn Hasan ibn Muhammad ibn Abdul Wahab
- Sulaiman ibn Muhammad ibn Abdul Wahab, cucu yang jenius dan pemberani
- Muhammad ibn Ibrahim, cucu yang mufti pada zaman raja Faishal
- Abdul Aziz ibn Baz, mufti dan ketua lembaga penelitian, fatwa dan dakwah kerajaan Saudi Arabia.
Kekuasaan Su’ud inilah yang telah mendukung gerakan Wahabi menyebar ke seluruh pelosok jazirah Arab dan sekitarnya melalui dakwah kepada orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Dalam perkembangannya, gerakan ini pernah diperangi oleh imperium Utsmani dengan memerintahkan wali Mesir yang pada waktu itu dijabat oleh Muhammad Ali dengan alasan bahwa aliansi gerakan ini dengan otoritas Raja Su’ud telah mulai menggerogoti dan memasuki wilayah kekuasaan Utsmani. Meskipun mereka pernah kalah, namun secara spiritual gerakan ini telah menguasai wilayah Arabia. Ini adalah bukti kebangkitan gerakan Wahabi.
3. Pembaruan dan Ajaran-Ajaran Wahabi
Gerakan Wahabi bisa disebut juga sebagai gerakan pemurnian akidah. Kata pemurnian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris purfication, berarti penyaringan atau pemurnian. Dalam bahasa Arab disebut taqiyah yang juga berarti pemurnian. Jadi, pemurnian adalah suatu proses penyaringan atau pemurnian sesuatu untuk mengambil sarinya. Dalam hal ini istilah tersebut merupakan suatu poses penyaringan praktik ajaran Islam dan unsur-unsur bid’ah, kurafat, takhayul, dan lain-lain, yang tidak bersumber dan ajaran Al-Quran dan Al-Hadis.
Pemikiran Wahabi banyak dipengaruhi oleh tiga tokoh besar, yaitu Imam Ahmad ibn Hanbal (164-241 H), Ibnu Taimiyah (661-728 H), dan Muhammad ibnu Al-Qayyim A1-Jauziyah (691- 751 H). Mazhab Hanbali inilah yang telah menjadi pegangannya, tetapi pemikirannya juga dipengaruhi oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qayyim (murid dan Ibnu Taimiyah) yang juga bermazhab Hanbali.
Orientasi gerakan ini adalah kembali pada gerakan puritan yang dalam Islam intinya adalah mengajak untuk kembali kepada ajaran masa lalu, yaitu Al-Quran dan Al-Hadis yang dipraktikkan oleh golongan salaf dengan pembersihan kurafat, bid’ah, dan lain-lainnya. Senada dengan pernyataan Muhammad Thahir Badrio (Stenger, 1978: 191), bahwa gerakan Wahabi sebagai sebuah gerakan yang menentang kemunduran dan kemerosotan yang terjadi dalam tubuh umat Islam, disebabkan oleh kerusakan tauhid dan dianjurkan untuk memperbaikinya dengan kembali kepada ajaran Al-Quran dan Al-Hadis.
Berikut ajaran dan tindakan yang diambil oleh Muhammad ibn Wahab dalam menyeru kembali kepada kemurnian ajaran tauhid.
1. Pelarangan Bid’ah, Kurafat, dan Taklid
Hal ini dipertegas dengan doktrin dan pemikirannya yang bertujuan menghancurkan bentuk bid’ah dan kurafat yang merajalela, seperti berziarah ke makam-makam yang dijadikan tempat meminta sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia dan berziarah pada monumen tertentu. Juga dilarang membangun kuburan, menyelimutinya, memberinya lampu, dan segala bentuk bid’ah yang lain.
Anggapan bahwa sistem Islam zaman pertengahan telah menjadi kata akhir, ijtihad tidak lagi dibolehkan dan taldid merupakan salah satu jalan terbaik, telah ditentang oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, bahkan ia mengutuk otoritas taklid sebagaimana dianut oleh kebanyakan para ulama masa itu. Meskipun bermazhab Hambali, namun dalam praktiknya ia tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran dan mazhab tersebut dan kalau memang ada yang tidak sejalan dengan Al-Quran dan Al-Hadis ia tidak akan mengikutinya.
2. Pemurnian Akidah
Dalam hal pemurnian akidah, Muhammad ibn Abdul Wahab mempunyai doktrin dan pemikiran bahwa:
- yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah dan orang yang menyembah selain Allah telah menjadi musyrik. Tauhid menurutnya dibagi kepada dua (Thahir, 1984: ix), yaitu rububiah dan uluhiyah. Pembagian ini dilakukan untuk tidak memungkinkan terjadinya penyembahan kepada selain Allah, seperti kepada batu, pohon-pohon besar, dan lain-lain. Tauhid uluhiyah adalah untuk menetapkan sifat ketuhanan kepada Allah, sedangkan tauhid rububiyah adalah untuk meyakinkan kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah. Berdasarkan ajaran tauhid tersebut, jelaslah bahwa pemujaan yang ditujukan kepada selain Allah tidak dibenarkan baik secara sadar maupun tidak sadar. Dihubungkan dengan realitas masyarakat yang menyucikan para wali, pemujaan terhadap berhala, dan lain lain, ini merupakan bentuk aktivitas yang mengarah kepada kemusyrikan.
- penentuan hukum harus langsung bersumber pada Al-Quran dan Al-Sunnah serta tidak menerima persoalan akidah yang tidak bersandar langsung pada dalil-dalil yang langsung dan jelas dan Al-Quran dan Al-Sunnah.
- menyeru pada pemurnian arti tauhid dan memahaminya seperti apa yang dipahami umat Islam pada masa awal Islam.
- tawasul yang dianjurkan adalah tawasul yang dilakukan dengan menyebut asma Allah, sedangkan yang dilarang adalah tawasul yang dilakukan dengan menyebut nama nabi, malaikat, keramatnya syaikh, dan lainnya.
- ditentangnya segala bentuk ungkapan dan tarekat sufistik yang dimasukkan ke dalam agama yang belum pernah ada sebelumnya.
- meminta syafaat selain kepada Allah adalah syirik.
- tidak percaya kepada qadha dan qadar Allah termasuk syirik
- bernadzar kepada selain Allah juga termasuk syirik.
- memperoleh pengetahuan selain dan Al-Quran, Hadis, dan Qias (analogi) juga merupakan kekufuran.
3. Dibukanya Kembali Pintu Ijtihad
Konsekuensi dan ajaran kembali kepada Al-Quran dan Al-Hadits adalah membawa kepada penyeruan agar pintu ijtihad yang merupakan salah satu cara dalam mengkaji pemikiran-pemikiran langsung dan sumber yang asli secara bebas harus tetap dibuka, setelah lama tertutup sejak jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H. Usaha tersebut telah memengaruhi pemikiran dan kegiatan pembaruan pada periode modern dalam sejarah Islam. Kendati demikian, usaha tersebut kurang efektif mengingat gerakan ini kurang memberikan perhatian yang cukup dalam pengembangan intelektualitas. Inii terbukti, dan tidak diterimanya penafsiran-penafsiran dan penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat dan mereka menyerahkan penafsiran kepada Allah.
4. Cara Penyiaran Aqidah-aqidah Wahabiah
Kalau ibnu Taimiah, sebagai pembangunan
C. Pengaruh Gerakan Wahabi Terhadap Dunia Islam
Dakwah Wahabi telah meninggalkan jejak dan pengaruh yang besar terhadap gerakan ishlah (reformasi) atau pembaruan yang telah bangkit di dunia Islam yang lahir kemudian baik dalam skala besar maupun kecil. Apalagi dengan pemikiran-pemikiran yang sudah lama ada, seperti gerakan Sanusiah di Afrika Utara dan pedalaman Sahara, Muhammad Abduh di Mesir, Muhammadiyah di Indonesia, dan gerakan-gerakan lainnya. Di Indonesia, pengaruh gerakan Wahabi datang melalui haji yang pulang dan Makkah. Jamaah tersebut pada akhirnya membentuk sebuah organisasi dengan ajaran-ajaran Wahabi. H.R Gibb dalam bukunya mengatakan bahwa pengaruh gerakan Wahabi terhadap dunia Islam menyebar karena intoleransi mereka terhadap penyembahan para wali dan mazhab-mazhab ortodok. Dan pada akhirnya secara gradual berhasil menampilkan gagasan pemikiran yang sedikit demi sedikit tersebar ke seluruh dunia Islam.
0 komentar:
Posting Komentar