Nez PinkBox

YM

Rabu, 20 Oktober 2010

FILSAFAT PASCA INBNU RUSD


BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat Islam tumbuh dan berkembang di bawah naungan Islam, dipengaruhi oleh ajaran-ajarannya dan hidup di bawah suasana peradabannya. Kaum muslimin, di Timur maupun di Barat ikut memberikan andil tanpa memperhitungkan adanya perbedaan daerah atau tempat tinggal, bahkan tidak ada masalah andaikata pihak non Muslim yang berada di bawah naungan Islam ambil bagian.  Fulsafat Islam memiliki keunikan dalam topik dan isu yang digarap, problem yang coba dipecahkan, dan metode yang digunakan dalam memecahkan permasalahan-permasalahan itu.
Filsafat Islam selalu berusaha untuk mendamaikan wahyu dan nalar, pengetahuan dan keyakinan, serta agama dan filsafat. Filsafat Islam bertujuan untuk membuktikan bahwa pada saat agama berpelukan dengan filsafat, agama mengambil keuntungan dari filsafat sebagaimana filsafat juga mengambil manfaat dari agama. Pada intimya, filsafat Islam adalah hasil kreasi dari sebuah lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang, dan jelasnya, filsafat Islam adalah agama dan spiritual. Meskipun filsafat Islam berorientasi religius, ia tidak mengabaikan isu-isu besar filsafat, seperti problem keberadaan dalam waktu, ruang, materi dan kehidupan. Cara pengkajian filsafat Islam terhadap epistemology pun unik dan berkomprehensif. Ia membedakan antara kedirian (nafs) dan nalar, potensi bawaan sejak lahir dan Al-muktasab, ketetapan dan kesalahan pengetahuan dzanni dan qath’i. Filsafat Islam juga mengkaji tentang defenisi serta klasifikasi kebaikan dan kebahagiaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK FILSAFAT ISLAM

Filsafat Islam memiliki karakteristik yang berbeda dengan filsafat didasarkan pada Al-Qur’an sebagai sumber dorongan dan sumber informasi. Akan tetapi kebanyakan orang sering salah pengertian terhadap filsafat Islam. Mereka mengira pembicaraan filsafat Islam bertentangan dengan Al-Qur;an dan hadits. Padahal, yang dibicarakan didalamnya adalah masalah-masalah yang tidak ditemukan penegasannya dalam Al-qur’an dan hadits dengan kata lain filsafat dari filosof Muslim ini dapat disebut hasil ijtihad, sama posisinya dengan hasil ijtihad ahli fiqih dalam bidang hukum Islam dan termasuk kebudayaan. Karakteristik filsafat Islam yaitu:
1. Filsafat Islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam, dan roh.
2. Filsafat Islam membahas masalah yang belum pernah dibahas filsafat Islam sebelumnya seperti filsafat kenabian (al-nazhariyyat al-nubuwwat).
3. Dalam filsafat Islam terdapat pemaduan antara agama dan filsafat antara kaidah dan hikmah, antara wahyu dan akal.
Pendapat Al-Farabi bahwa yang menjadi kepala Negara adalah nabi atau filosof. Begitu pula pendapat Al-Farabi pada nadhariyyat al-nubuwwat (filsafat kenabian). Bahwa nabi dan filosof sama-sama menerima kebenaran dari sumber yang sama, akan tetapi ada perbedaan dari segi teknik. Dalam keadaan seperti di atas timbul dan berkembangnya filsaft Islam dibawah naungan keagamaan yang tidak kurang ketelitian dan kecermatannya dalam menyelesaikan masalah bila dibandingkan dengan filsafat lain. Jadi yang disebut dengan filsafat islam adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaranIslam.




B. SISTEMATIKA PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM
1.      Penelitian dan Penerbitan
Kajian ini berkisar pada tiga point. Pertama penemuan, editing dan penerbitan dokumen-dokumen. Kedua, memperkenalkan figur atau tokoh aliran tertentu dan menganalisa berbagai pendapat dan teori. Ketiga, menerjemahkan dari atau kedalam bahasa Arab. Tidak diragukan lagi bahwa penemuan dokumen merupakan langkah pertama dalam rangka menghidupkan warisan antologi Islam, dimana para orientalis telah berorientasi kesana sejak tahun-tahun terakhir abad yang lalu, yang di abad ini kita mengikuti metode mereka.
2.      Penyusunan
Di tahun-tahun terakhir dari abad yang lampau, khususnya orang-orang belakangan khusus menekuni bidang pemikiran Islam. Mereka memecahkan problem yang ada secara global, atau memfokuskan diri pada aspek-aspek tertentu saja. Di antara mereka ada orang yang dalam kajiannya nenggabungkan antara filsafat kalam dan tasawuf. Ada yang konsentrasi hanya pada salah satu dari bidang ini.
           3. Penerjemahan
Sebagai salah satu sarana interaksi peradaban, penerjemahan dulu maupun sekarang selalu menjadi tumpuan berbagai peradaban, misalnya orang-orang Yunani mengambil dari orang-orang mesir dan india kuno. Orang-orang Arab mengambil dari orang-orang Yunani.Orang-orang kristen menganbil dari orang-orang Islam. Antara sesame peradaban eropa Modern terjadi interaksi terus menerus. Hampir setiap kajian penting dalam salah satu lingkaran Internasional besar selalu diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain.

C. PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM
Khazanah pemikiran filsafat Islam mulai muncul dengan diawalinya terjemahan manuskrip filsafat Yumami kedalam bahasa arab dan bahasa persia. Menurut sebagian sejarahwan, filsafat Islam mulai muncul pada masa Al-Kindi dan Al-Farabi melalui pengalihan bahasa dari bahasa Yunani kedalam bahasa Arab, adapula sejarahwan yang mengatakan alih bahasa sudah dilakukan sebelum mereka, seperti Ikhwan as-shafa.
Al-Kindi adalah muslim pertama yang secara sistematis merumuskan apa itu filsafat Islam, pemikirannya masih dekat dengan teologi Islam yang saat itu sudah berkembang. Ia adalah seorang mu’tazili, ia terkenal dengan karyanya al-Falsafah al-Ula, yang berbicara tentang posisi filsafat dalam pemikiran Islam. Ia menunjukkan bahwa concern pertama dari filsafat sesungguhnya sama dengan teologi. Barulah muncul Al-Farabi dan Ibnu Sina. Al-Farabi adalah pengikut paripatetik yang tidak l;epas dengan pemikiran Neoplatonisme didalamnya. Al-Farabi terkenal dengan karya-karya yang namanya sama dengan karya Ibnu ’Arabi, filosof muslim belakangan, Fushush al-Hikam.
Pemikiran filsaft Islam mulai ’show on’ pada masa Ibnu Sina, ia tidak lagi merujuk pada manuskrip asli dari Yunani, karena pada masanya sudah banyak beredar terjemahannya dan sulitmya mencari manuskrip aslinya. Pasca Al-Farabi dan Ibnu Sina, muncul beberapa filosof muslim di dunia Islam belahan Barat tepatnya di Andalusia, yang sekarang dikenal dengan Spanyol,Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, tak lupa juga Ibnu Rusdy disana. Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail cenderung meneruskan pemikiran filosof terdahulunya.Di dunia Islam belahan Timur muncul Al Ghazali sebagai pendatang baru, melakukan pemisahan antara filsafat dengan teologi dan melakukan pemisahan antara hal-hal yang perlu menggunakan rasional dengan hal-hal yang cukup dengan menggunakan empiri, seperti hal-hal botani, zoologi dan hal-hal yang hanya cukup menggunakan indera tidak perlu adanya rasionalisasi didalamnya.
Pasca Al Ghazali muncul dua filosof muslim yang merupakan reaksi dari filsafat Al Ghazali: Ibnu Rusyd yang merupakan salah satu pengikut peripatetisme, ia sangat mengedepankan rasional.

D. CIRI-CIRI PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM
1. Tidak mengaburkan dan mengorbankan keyakinan agama Islam.
2. Bisa menjangkau kemampuan akal manusia
3. Berdasarkan pengetahuan dan kebijaksanaan
4. Pengetahuannya bersifat abadi dan menyeluruh.
5. Bersifat rasional murni yang hanya mempercayai terhadap kekuatan akal.
6. Filsafat Islam merujuk pada kekuasaan tertinggi.
7. Penyelidikan hakikat sebenarnya dari segal yang ada.
8. Didasarkan atas kemurnian, kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran.
9. Pembicaraannya berkisar tentang masalah Tuhan, wujud-Nya atau kehendak-Nya.
10.Berfikir secara radikal, sistematik, dan universal.
11. Berfikir dengan sadar, dan dapat nenyerap secara keseluruhan apa yang ada     pada alam semesta.
12. penyelidikan untuk mencari apakah filsafat atau kebijaksanaan itu.

E.Perkembangan dan Karakteristik Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd:
a. Ikhwan al-Shafa
Ikhwan al-Shafa’ (Persaudaraan Suci) adalah nama kelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M) di Basrah. Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan Abna’ al-Hamd. Salah satu ajaran Ikwan al-Shafa adalah paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan), paham taqiyah ini disebabkan basis kegiatannya berada ditengah-tengah masyarakat sunni yang nota bene adalah lawan ideologi dari Ikhwan al-Shafa’ (Syi’ah), kerahasiaan kelompok ini juga disebabkan oleh dukungan mereka terhadap faham mu’tazilah yang telah dihapuskan dari madzhab Negara oleh khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (sekte sunni). maka kaum rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan kemudian diusir dari Baghdad.
Berikutnya penguasa melarang mengajarkan kesusateraan, ilmu, dan filsafat. Kondisi yang tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Berdasarkan permasalahan itulah kelompok ini selain bergerak di bidang keilmuan juga bertendensi politik.
Pada masa khilafah Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang berpaham sunni, gerakan kelompok ini dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya dipandang sesat. Maka pada tahun 1150 Khalifah Al-Muntazid menginstruksikan agar seluruh karya filsafat Ikhwán dibakar. Hal ini disebabkan karena perbedaan ideologi antara penguasa Dinasti Salajikah yang Sunni dengan kelompok Ikhwan al-Shafa yang Syiah.
Ikhwan al-Shafa’ merupakan gerakan yang mempertahankan semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya. Tokoh terkemuka kelompok ini adalah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid ibn Rifa’ah selaku ketua dan Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjany.
Lahirnya Ikhwan al-shafa’ adalah ingin menyelamatkan masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka, syariat telah dinodai bermacam-macam kejahiliyahan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.
Filsafat
Adapun beberapa filsafatnya adalah:
    * Talfiq
Ikhwan al-Shafa berusaha memadukan agama-agama yang ada dengan filsafat. Mereka menyatakan bahwa apabila dipertemukan antara filsafat Yunani dan syari’at Arab, maka akan menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih sempurna. Ikhwan al-Shafa menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu.
Usaha rekonsiliasi antar agama dengan filsafat sebenarnya telah dilakukan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Akan tetapi, kedua filosof ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat dan agama. Sementara itu Ikhwan al-Shafa melepaskan sekat-sekat perbedaan agama. Karena itu rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan agama Islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama, ajaran, dan keyakinan, seperti Kristen, Majuzi, Yahudi dan lain-lainnya.
Menurut mereka, tujuan semua agama tersebut sama-sama untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Yang mereka maksud adalah Islam sebagai ajaran utama dan ajaran-ajaran lain hanya sekedar pelengakap untuk memudahkan pemahaman Islam itu sendiri. ini akan mereka jadikan sebagai pegangan dalam negara baru yang mereka impikan.
    *   Ketuhanan
Dalam masalah ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka, pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semua angka.
Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka dua dan dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu adalah angka yang pertama dan angka itu terlebih dahulu dari angka dua lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu, terbuktilah bahwa Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti dahulunya angka satu dari angka lain.
Hal ini terlihat jelas pengaruh Neo-Pythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesan Plotinus pada Ikhwan al-Shafa. Kesan tauhid dalam filsafat mereka itulah yang menarik Ikhwan al-Shafa mengambilnya sebagai argumen tentang keesan Allah.
Tentang ilmu Allah mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam bilangan satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan yang satu, meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap segala yang ada.
Untuk mengetahui pemikiran Ikhwan al-Shafa mengenai konsep emanasi silahkan klik disini
    * Bilangan
Menurut mereka, angka-angka itu mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan dalil wujud sesuatu. Oleh sebab itu, ilmu hitung merupakan ilmu yang mulia dibanding ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan.
Angka satu merupakan dasar segala wujud dan permulaan yang absolut. Huruf hijaiyah yang 28 merupakan hasil perkalian empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung nilai kesucian, sedangkan angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang tercermin pada ciptaan Allah terhadap segala sesuatu dialam ini, seperti empat penjuru angin, empat musim, empat unsur dan lainnya. Alasan untuk ini adalah bahwa Tuhan menginginkan empat macam entitas ilmiah tersebut dapat memantulkan atau mencontohkan entitas-entitas adikodrati, yang sama-sama merupakan satu kelompok dari empat entitas: Tuhan, Akal Universal, Jiwa Universal dan Materi Prima.
    *    Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Jiwa manusia banyak dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangannya, maka jiwa dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang.
Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir. Tanggapan dari panca indra yang menyalurkan ke otak bagian depan yang memiliki daya imajinasi. Kemudian meningkat ke daya berpikir yang terdapat pada otak bagian tengah. Pada tingkat ini manusia bisa membedakan antara benar dan salah, antara baik dan buruk. Setelah itu, disalurkan ke daya ingatan yang terdapat pada otak bagian belakang. Pada tingkat ini seseorang telah sanggup menyimpan hal-hal anstrak yang diterima oleh daya berpikir. Tingkatan terakhir adalah daya berbicara, yaitu kemampuan mengungkapkan pikiran dan ingatan itu melalui tutur kata pada pendengar.
Manusia selain mempunyai indera zahir, juga memiliki indra batin yang berfungsi mengolah hal-hal yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep.

b.Sukhrawardi
Al-Suhrawardi, yang hidupnya membentang jangka waktu kurang dari empat puluh tahun di pertengahan abad kedua belas iklan, menghasilkan serangkaian karya yang sangat meyakinkan didirikan sebagai pendiri mazhab baru filsafat di dunia Islam, sekolah Illuminationist filsafat (hikmat al-ishraq). Meskipun timbul dari filsafat yang bergerak yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, al-Suhrawardi's Illuminationist filsafat adalah kritis terhadap beberapa posisi yang diambil oleh Ibnu Sina, dan secara radikal berangkat dari yang kedua melalui penciptaan bahasa simbolis untuk memberikan ekspresi kepada metafisika dan kosmologi , dengan 'ilmu lampu'. Konstituen dasar realitas untuk al-Suhrawardi adalah murni, imaterial cahaya, dari yang tidak ada yang lebih nyata, dan yang terbentang dari Cahaya Terang dalam mode melalui emanationist urutan lampu-lampu pernah mengurangi intensitas; melalui interaksi kompleks, ini di gilirannya menimbulkan cahaya horisontal array, mirip dalam konsep ke Formulir Platonik, yang mengatur jenis realitas duniawi. Al-Suhrawardi juga diuraikan gagasan independen, perantara dunia, dunia imaginal (alam al-mithal). Pandangan-pandangannya mempunyai pengaruh yang kuat yang diberikan ke hari ini, khususnya melalui Mulla Sadra's adaptasi dari konsep intensitas dan gradasi dengan eksistensi, di mana ia digabungkan Illuminationist bergerak dan deskripsi tentang realitas.
    1. Al-Suhrawardi dan filsafat ishraq
    2. Epistemologi
    3. Logika, fisika, metafisika dan kosmologi
    4. Bahasa ishraq





1. Al-Suhrawardi dan filsafat ishraq
Shihab al-Din Yahya ibn Habash Amirak bin Abu 'l-Futuh al-Suhrawardi, yang dikenal sebagai al-Maqtul (yang Dibunuh) dalam referensi untuk eksekusi, dan biasanya disebut sebagai Syaikh al-Ishraq setelah Illuminationist filsafat (hikmat al - ishraq) yang mendukung, lahir di ah 549/ad 1154 di desa Suhraward di barat laut Iran. Setelah belajar di Maraghah (dengan Majd al-Din al-Jili, yang juga mengajar Fakhr ad-Din Al-Razi) dan Isfahan, ia melewati beberapa tahun di barat daya Anatolia, bergaul dengan para penguasa Saljuk dan pangeran, sebelum pindah ke Aleppo di 579 ah / iklan 1183. Di sini ia mengajar dan menjadi teman gubernur, al-Malik al-Zahir al-Ghazi (putra Ayyubiyah Salah al-Din, literatur terkenal di Eropa sebagai Saladin), yang kemudian juga berteman dengan Ibn al-Arabi. Namun, ia jatuh busuk dari pemuka agama, dan dihukum mati pada tahun 1191 ah 587/ad atas perintah Salah al-Din, dalam keadaan yang masih belum jelas, tetapi yang melibatkan tuduhan merusak agama dan tuduhan klaim nubuat, dan mungkin juga memiliki dimensi politik.
Al-Suhrawardi filsafatnya jelas dimaksudkan untuk membuat istirahat yang berbeda dengan tradisi yang bergerak sebelumnya Ibnu Sina, namun makna dari istirahat ini telah ditafsirkan dalam beberapa cara. Untuk selanjutnya filsafat Islam, ia berada di atas semua konseptor dan pendukung utama teori keunggulan hakekat. Sementara kecenderungan yang dominan di Barat telah beasiswa untuk menggambarkan dia sebagai pencetus khas filsafat mistik dan esoterik, beasiswa Barat baru-baru ini menekankan bergerak kritiknya terhadap logika dan epistemologi dan teori sendiri dalam bidang-bidang ini (lihat misalnya Ziai 1990).
Ibnu Sina terkenal menangani masalah pengetahuan mistik dalam bagian terakhir dari Kitab al-Isharat wa-'l-tanbihat (Catatan dan peringatan), sehingga menjamin sebuah tempat untuk bidang pengetahuan ini dalam domain dari Hikmah (kebijaksanaan). Ini adalah al-Suhrawardi, Namun, yang berbalik mistik dan pengetahuan intuitif menjadi paradigma pengetahuan pada umumnya. Epistemologi ini kemudian menjabat sebagai dasar untuk membangun baik kritik yang bergerak filsafat dan filsafat asli lampu, atau Iluminasi (ishraq). Namun, bagaimanapun pentingnya bagi al-Suhrawardi untuk stres-nya bergerak radikal berangkat dari filsafat, ia juga menekankan pentingnya bagi mereka yang akan mengikuti metode untuk mempelajari metode yang bergerak erat.
Al-Suhrawardi tulisan jatuh ke dalam beberapa kategori. Pertama, ada empat karya-karya filsafat utama, yang ditulis dalam bahasa Arab: Kitab al-talwihat (The isyarat), Kitab al-muqawamat (pertentangan), Kitab al-mashari 'wa-'l-mutarahat (Jalan Orang dan Langit) dan Kitab hikmat al-ishraq (The Philosophy of Illumination). Ini tampaknya dimaksudkan oleh al-Suhrawardi harus dipelajari dalam urutan ini, dan sekitar mengikuti perkembangan dari kurang lebih konvensional gaya yang bergerak ke satu di mana 'ilmu lampu' diungkapkan melalui kosakata teknis sendiri dan metode, suatu kemajuan digambarkan oleh al-Suhrawardi sebagai gerakan dari filsafat diskursif (Hikmah bahthiyya) untuk sebuah filsafat intuitif (Hikmah dhawqiyya). Kelompok kedua karya berisi kumpulan cerita-cerita simbolik, terutama dalam bahasa Persia, tetapi beberapa dalam bahasa Arab, menguraikan perjalanan jiwa melalui tahap realisasi diri dan menawarkan gambar mencolok dari beberapa pengertian tentang Illuminationism sementara berusaha untuk menumbuhkan jenis visi intuitif dalam hatinya. Karya yang tersisa terdiri dari sejumlah risalah singkat dalam bahasa Arab, seperti Hayakil al-nur (The Temples of Light), dan lain-lain dalam bahasa Persia Illuminationist menguraikan filsafat dalam bentuk yang lebih sederhana, koleksi doa dan doa, dan beberapa terjemahan lain-lain (atau versi) dan komentar.
2. Epistemologi
Dengan mendasarkan filsafatnya pada cahaya, al-Suhrawardi mampu memperkenalkan dua konsep penting yang dapat dianggap sebagai benih dari seluruh sistem: bahwa intensitas dan gradasi, dan bahwa kehadiran dan manifestasi diri. Adalah mungkin untuk melihat filsafat sebagai pengalaman, meskipun pengalaman pengertian tidak terbatas pada yang diperoleh melalui indera tapi memeluk bentuk-bentuk lain termasuk pengalaman mistik. Penjelasan Ibnu Sina pengetahuan didasarkan pada bentuk yang melekat dari hal yang dikenal dalam pikiran yang mengetahui, tapi untuk al-Suhrawardi pengetahuan seperti itu hanya menjamin kepastian dan pengetahuan korespondensi dengan kenyataan, karena di sana ada yang lebih mendasar jenis pengetahuan yang tidak bergantung pada bentuk dan yang, seperti pengalaman rasa sakit, unmediated dan tak dapat disangkal. Modus utama pengetahuan presential ini (al-ilm al-huduri) adalah kesadaran diri, dan setiap makhluk yang ada dalam dirinya sendiri yang mampu kesadaran diri adalah cahaya murni dan sederhana, seperti yang tampak oleh kejelasan bening dengan yang terwujud dengan dirinya sendiri. Bahkan, menjadi cahaya murni dan sederhana adalah persis sama dengan memiliki kesadaran diri, dan ini berlaku untuk semua entitas sadar diri sampai dengan dan termasuk Allah, Cahaya Terang, intensitas yang pencahayaan dan kesadaran diri meliputi segala sesuatu yang lain. Konstituen utama dari realitas adalah hierarki murni seperti lampu, hanya berbeda dalam intensitas Pencerahan mereka, dan dengan demikian kesadaran diri (lihat Illuminationist filsafat).
Bagaimana kemudian adalah filsuf menyadari hal ini kesadaran diri? Illuminationist calon harus terlibat dalam berbagai praktik asketis direkomendasikan (termasuk empat puluh hari retret dan berpantang dari daging) untuk melepaskan dirinya dari dunia ini darknesses dan mempersiapkan diri untuk pengalaman dunia lampu. Kenikmatan yang tinggi diberikan oleh jenis yang terakhir ini pengalaman yang ditekankan. Setelah menyucikan diri spiritual, filsuf sudah siap untuk menerima Cahaya Ilahi dan dihargai dengan visi dari 'apokaliptik' lampu yang membentuk dasar bagi pengetahuan sejati. Pada titik ini harus mempekerjakan Illuminationist diskursif filsafat untuk menganalisis pengalaman dan sistematis, dalam cara yang sama seperti dengan pengalaman indrawi.
Hubungan antara pengetahuan intuitif langsung ini dan filsafat Pencerahan dibandingkan dengan pengamatan bahwa antara langit dan astronomi. Sebagian besar al-Suhrawardi tulisan-tulisan ini ditujukan untuk tahap terakhir ini analisis dan sistematisasi rasional, meskipun ia kadang-kadang berhubungan dengan penglihatan. Narasi simbolik-Nya dalam bahasa Persia adalah dalam pengertian tertentu catatan ini, walaupun di dalamnya al-Suhrawardi, penulis, tidak pernah secara eksplisit orang pertama. Narasi memiliki fungsi pedagogik, dan panduan untuk jenis pengalaman yang harus dihadapi oleh para pencari dan interpretasi mereka; memang tokoh utama dalam kisah-kisah ini sering panduan, penguasa spesies manusia, kadang-kadang meskipun tidak secara eksklusif diidentifikasi sebagai Gabriel.
3. Logika, fisika, metafisika dan kosmologi
Terungkapnya kenyataan dalam Illuminationism diatur oleh cara-cara yang berbeda di mana lampu murni berinteraksi untuk menghasilkan tingkat lebih lanjut lampu dan darknesses, dan oleh interaksi berikutnya semua tingkatan yang berbeda satu sama lain, sehingga akhirnya dalam alam semesta yang padat penduduknya. Lampu murni penyebab tiga kategori entitas lain: kebetulan lampu (cahaya fisik, dan kecelakaan tertentu intelek dan jiwa), mode gelap (sengaja tidak termasuk kategori di tubuh kebetulan lampu) dan intermediasi isthmuses (barzakhs) atau batas-batas (badan ). Sifat-sifat yang bercahaya derajat ini juga sifat-sifat kesadaran diri; sehingga misalnya, cahaya yang kebetulan hidup dalam sesuatu selain dirinya sendiri, dan juga membutuhkan sesuatu yang lain yang harus diperhatikan itu sendiri.
Keberadaan seperti itu tidak melakukan lebih dari peran penjelasan dalam Illuminationism, sangat berbeda dari posisi sentral yang ditempati dalam bergerak filsafat, pertanyaan besar yang merupakan sifat dari hubungan antara keberadaan dan hakekat. Namun, penting untuk memperhatikan bahwa cahaya tidak hanya bertindak sebagai pengganti keberadaan: keberadaan, dan fungsi jelas, diterjemahkan benar-benar berlebihan. Lampu (dan darknesses dan barzakhs disebabkan oleh lampu) dalam al-Suhrawardi sistem adalah entitas yang terpisah interaksi pada gilirannya membawa lampu lainnya. Ada demikian merupakan keunggulan entitas, dan al-Suhrawardi menganggap keberadaan seperti itu tidak lebih dari abstraksi mental yang tidak memiliki realitas eksternal. Lebih jauh lagi, meskipun berbeda dalam intensitas lampu, tidak ada dalam sistem ini sesuai dengan Ibn al-'Arabi's wahdatul al-wujud (kesatuan menjadi) (lihat Ibn al-Arabi); al-Suhrawardi tidak akan mengatakan bahwa semua realitas ringan, tetapi itu adalah lampu. Ini adalah untuk alasan-alasan ini bahwa kemudian ia bertanggung jawab atas gagasan tentang keunggulan hakekat (asalat al-Mahiya), meskipun ia tidak menggunakan ungkapan ini sendiri. Itu Mulla Sadra yang, empat abad kemudian, dibangun di atas pemahaman bahwa realitas pada dasarnya adalah sebuah kontinum dinilai intensitas, tetapi keberadaan sebuah kontinum, bukan cahaya. Dengan demikian, ia mampu memadukan Suhrawardi al-sistem dengan orang-orang dari peripatetics dan Ibn al-'Arabi menjadi sebuah teori metafisika yang kenyataannya tak lebih dari eksistensi itu sendiri, dan untuk mengubah hakekat ke dalam abstraksi mental murni yang keberadaannya untuk al - Suhrawardi.
Presential pandangannya tentang pengetahuan (yang al-Suhrawardi sendiri menyatakan telah dipercayakan kepadanya oleh Aristoteles dalam mimpi) mengusulkan solusi untuk kelemahan yang al-Suhrawardi telah terdeteksi di Ibnu Sina sistem filosofis. Yang paling penting yang bersangkutan ini teori definisi, dan masalah definisi sebagai dasar pengetahuan ilmiah. Pertama, ia benda yang tidak mungkin untuk memberikan definisi yang lengkap, untuk definisi yang lengkap harus mengandung semua unsur pokok yang definiendum, dan seperti pencacahan adalah mustahil. Kedua, peripatetics berpendapat bahwa definisi adalah sarana untuk melanjutkan dari yang diketahui ke yang tidak diketahui, tetapi konstituen esensial, al-Suhrawardi menegaskan, itu sama diketahui sebagai definiendum, jadi ini tidak bisa begitu. Terkandung dalam hal ini juga keberatan terhadap induksi: bagaimana bisa satu tahu apakah kumpulan elemen-elemen penting dari suatu hal selesai hanya dengan mendaftarkan mereka? Kesimpulannya adalah bahwa pengetahuan selalu diperlukan dan diandaikan.
Bidang lain yang bergerak ketidaksepakatan dengan filsafat adalah kategori, yang diperlakukan oleh al-Suhrawardi tidak dalam logika, tapi dalam fisika. Dia mengurangi kebetulan kategori untuk empat (kualitas, kuantitas, hubungan dan gerak), dan memegang intensitas menjadi milik substansi maupun kecelakaan. Dengan perubahan dalam intensitas, tidak ada perubahan dalam inti dari sebuah kecelakaan (warna, misalnya) atau suatu zat (seperti sebab dan akibat); satu-satunya perbedaan adalah tingkat kesempurnaan.
Seperti dapat diperkirakan, al-Suhrawardi's fisika juga berisi teori baru visi. Ia tidak hanya menolak gagasan bahwa bentuk-bentuk benda tercetak di mata, tetapi juga teori lain yang saat ini cahaya yang dipancarkan dari mata dan jatuh ke objek. Visi ini hanya mungkin, menurut al-Suhrawardi, ketika jiwa yang diterangi oleh lampu, substansial atau kebetulan, objek, dan dengan demikian ia membawa visi dalam kompas dari teori yg menjelaskan pengetahuan.
Atau unsur fisik dunia seperti yang digambarkan oleh al-Suhrawardi bergerak menolak pembagian materi dan bentuk, dan substitusi untuk itu badan dunia yang terdiri dari campuran berbagai cahaya dan kegelapan, yang memungkinkan perjalanan cahaya ke berbagai derajat. Di atas dunia fisik lampu tersebut diatur dalam array vertikal, sesuai dengan skema emanationist Ibnu Sina. Namun, ini murni, lampu imaterial tidak terbatas pada sepuluh sebagai adalah intelek dari skema yang bergerak. Al-Suhrawardi hanya mengatakan bahwa mereka terbatas pada jumlah bintang di langit tetap; sehingga mereka terbatas jumlahnya, tetapi tidak tak terbatas. Selain itu, ini tersusun secara vertikal 'kemenangan' (qahira) lampu berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan array horizontal sama imaterial, 'bupati' (mudabbira) lampu. Masing-masing tersusun secara horisontal lampu adalah penguasa suatu spesies, analog dengan Formulir Platonis, tetapi dengan perbedaan penting bahwa mereka adalah lampu yang 'mengatur' spesies di bawah mereka, bukan universal. Spesies digambarkan sebagai 'berhala' (asnam) arketipe mereka. Ini adalah kedua interaksi vertikal dan horisontal lampu yang menimbulkan tubuh dunia yang lebih rendah, yang juga digolongkan ke dalam derajat tergantung pada sejauh mana mereka menerima dan mengirim cahaya, masing-masing menjadi batas (barzakh) antara cahaya dan kegelapan. Al-Suhrawardi juga diuraikan gagasan tentang dunia imaginal imaterial ( 'alam al-mithal), terletak di antara dunia fisik dan dunia para bangsawan spesies. Ini adalah lokus untuk jenis tulus menceritakan pengalaman dalam narasi simbolik, sebuah rekening unmediated yang hanya dapat diberikan dengan cara ini dan bukan melalui akal diskursif. Al-Suhrawardi's kosmologi adalah jauh lebih rumit daripada survei ini menyarankan, menggunakan terminologi rinci pembagian lampu yang mengklasifikasikan mereka dalam berbagai cara yang berbeda.
4. Bahasa ishraq
Integritas al-Suhrawardi yang kompleks filsafat tidak dicapai dalam ukuran kecil dengan keanggunan dan perbaikan dari sarana ekspresi. Illuminationist aslinya kosakata - akar Islam yang kadang-kadang terabaikan - merupakan salah satu aspek ini. Al-Ghazali telah menetapkan preseden dengan Misykat al-anwar (The Niche dari Lights), yang berkomentar tentang ayat Cahaya dalam Al Qur'an (24: 35). Namun, al-Suhrawardi juga menggunakan sejumlah perangkat lain untuk meregangkan batas-batas konseptual pembaca dan untuk menyampaikan dimensi lebih lanjut dari total visi tentang realitas. Semua lampu berhubungan dengan satu sama lain dalam arti ke bawah mereka menjadi 'kemenangan' atau 'agung', tetapi lebih jauh kohesi dipertahankan oleh 'keinginan' atau 'cinta' yang merasa lebih rendah derajat untuk atas, dan oleh penjelasan yang ini affords dari hal-hal seperti kegembiraan yang kita alami di hadapan matahari dan ketakutan kita di hadapan kegelapan, dan kegembiraan yang kita ambil dalam mineral tertentu seperti emas dan batu mirah.
Al-Suhrawardi juga memilih untuk menggambarkan lampu horizontal sebagai malaikat, menggunakan nama-nama dari Zoroaster Anshaspands dari mitologi untuk menunjukkan mereka (Khordad, Murdad, Urdibihisht dan seterusnya), dan dia menepuk Pahlawi kosakata untuk istilah-istilah lebih lanjut. Di berbagai tempat dalam karya-karyanya ia juga jejak sebuah silsilah untuk transmisi hikmat yang illuminationist kembali secara simultan melalui Yunani / garis Barat (termasuk Pythagoras dan Plato) dan Iran / baris Timur termasuk Zoroaster (lihat Zoroastrianisme) ke Hermes Trismegistus, dan menegaskan bahwa ada illuminationists (ishraqiyyun) sepanjang waktu. Semua ini menimbulkan pertanyaan tentang preseden bagi, dan pengaruh pada, al-Suhrawardi pemikiran, sebuah topik yang telah menyebabkan beberapa kontroversi dalam literatur Barat mengenai hal ini. Hal ini tidak perlu pergi ke rincian yang sebagian besar Corbin fenomenologis argumen untuk adanya tradisi filsafat Persia ishraqi independen dari bergerak (Corbin 1971); itu cukup untuk menunjukkan kurangnya bukti sejarah seperti tesis, dan memang kurangnya bukti tekstual tertentu kesimpulan tentang pengaruh pada al-Suhrawardi. Pendekatan yang lebih ekonomis adalah dengan menganggap ia menggunakan mitologi Persia kuno dan silsilah sebagai sarana untuk mengungkapkan keyakinan luar biasa bahwa dia telah mengembalikan filosofi dasar asli dalam kepastian pengalaman intuitif, sebuah yayasan yang ia yakini telah dirusak oleh discursiveness berlebihan dari para filsuf seperti Ibnu Sina. Dia melihat jejak yayasan ini dalam tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles (yang dalam tradisi Islam juga merupakan penulis yang terkenal Teologi), dalam sisa-sisa agama Zoroaster yang dihadapi, dan dalam ucapan-ucapan dan tulisan-tulisan tertentu yang dikaitkan dengan Sufi.
Pengaruh al-Suhrawardi pada Mulla Sadra telah disebutkan di atas, tapi ada di samping panjang dan tradisi yang hidup tafsiran pada beberapa teks. Dalam tradisi filosofis yang berlanjut setelah periode Mongol di Iran dan lebih ke timur di India, al-Suhrawardi berdiri hanya kedua Ibnu Sina. Mungkin kesaksian terbesar kepada kepentingan abadi adalah kenyataan bahwa sampai hari ini di Iran filsuf masih informal diklasifikasikan sebagai salah mashsha'i (bergerak) atau ishraqi, tergantung condong ke arah rasionalitas mereka atau mistisisme.

            c. Mulla Hadi
            Mulla Sadra (Sadr al-Din Muhammad al-Syirazi) (1571/2-1640)
Sadr al-Din al-Syirazi (Mulla Sadra) mungkin adalah satu-satunya yang paling penting dan berpengaruh filsuf di dunia Islam dalam empat ratus tahun terakhir. Penulis lebih dari empat puluh karya, ia adalah sosok yang mencapai puncaknya kebangkitan besar filsafat di Iran pada abad keenam belas dan ketujuh belas. Mencurahkan diri hampir secara eksklusif dengan metafisika, ia membangun filsafat kritis yang membawa bersama-sama bergerak, filsafat gnostik dan Illuminationist bersama dengan teologi Syiah dalam kompas dari apa yang disebut sebagai 'metaphilosophy', sumber yang terletak di wahyu dan Islam realitas pengalaman mistik sebagai eksistensi.
Mulla Sadra's metaphilosophy didasarkan pada eksistensi sebagai satu-satunya konstituen realitas, dan menolak setiap peran quiddities atau esensi di dunia luar. Keberadaan baginya sekaligus satu kesatuan dan diartikulasikan secara internal proses dinamis, sumber yang unik dari kedua kesatuan dan keanekaragaman. Dari titik mendasar ini, Mulla Sadra mampu menemukan solusi yang asli banyak logis, metafisik dan teologis kesulitan-kesulitan yang ia warisi dari para pendahulunya. Karya filosofis utamanya adalah Asfar (The Four Journeys), yang membentang ke sembilan volume pada saat ini edisi cetak dan merupakan presentasi lengkap dari ide-ide filosofisnya.
    1. Keunggulan eksistensi
    2. Sistematis ambiguitas eksistensi
    3. Substansial gerak
    4. Epistemologi
    5. Metodologi

1. Keunggulan eksistensi
Sadr al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, yang dikenal dengan berbagai cara sebagai Mulla Sadra, al-Sadr Muta'allihin, atau hanya Akhund, dilahirkan di Syiraz di pusat Iran pada 979-80/ad ah 1.571-2 . Ia belajar di Isfahan dengan, antara lain, Mir Damad dan Syaikh Baha 'al-Din al-'Amili, Syaikh-e Baha'i, sebelum pensiun untuk beberapa tahun kesendirian spiritual dan disiplin di desa Kahak, dekat Qum . Di sini ia menyelesaikan bagian pertama dari karya besar, yang Asfar (The Four Journeys). Ia kemudian diundang oleh Allah-wirdi Khan, gubernur provinsi Fars, untuk kembali ke Syiraz, tempat ia mengajar selama sisa hidupnya. Dia meninggal di Basra dalam ah 1050/ 1640 sementara pada ziarah ketujuh kaki ke Mekkah.
Iran Safawi menyaksikan kebangkitan yang patut dicatat filosofis pembelajaran, dan Mulla Sadra adalah kebangkitan ini tokoh paling penting. Yang bergerak (mashsha'i) filsafat Ibnu Sina telah dijabarkan dan bersemangat pada awal periode Mongol oleh Nasir Al-Din Al-Tusi, dan ada sejumlah kontributor penting untuk sekolah ini di abad sebelum Mulla Sadra. Illuminationist (ishraqi) filsafat, berasal dari Shihab al-Din al-Suhrawardi, juga pernah menjadi arus utama (lihat Illuminationist filsafat). Mistisisme spekulatif dari Sufisme Ibn al-'Arabi telah juga mengambil akar kuat dalam periode menuju abad kesepuluh ah (abad keenam belas iklan), sedangkan teologi (kalam), khususnya teologi Syiah, telah semakin datang untuk menjadi dinyatakan dalam terminologi filsafat, suatu proses yang dimulai pada sebagian besar oleh al-Tusi (lihat Mistik filsafat dalam Islam; teologi Islam). Beberapa filsuf telah gabungan berbagai aliran dari warisan filosofis ini dalam tulisan mereka, tetapi Mulla Sadra yang mencapai fusi sejati keempat, membentuk apa yang disebut 'metaphilosophy' (al-Hikmah al-muta'aliya), sebuah istilah ia tergabung ke judul magnum opus-nya, al-Hikmah al-muta'aliya fi'l-asfar al-'aqliyya al-arba'a (The Transenden Kebijaksanaan Mengenai Intelektual Four Journeys), yang dikenal hanya sebagai Asfar.
Mulla Sadra membuat keunggulan keberadaannya (asalat al-wujud) landasan filsafatnya. Aristoteles (§ § 11-12) telah menunjukkan bahwa keberadaan yang paling universal predikat dan karenanya tidak dapat dimasukkan sebagai salah satu kategori, dan al-Farabi menambahkan bahwa ini adalah mungkin untuk mengetahui hakikat tanpa terlebih dahulu mengetahui apakah itu ada atau tidak, dengan demikian keberadaan tidak menjadi unsur konstitutif dari sebuah esensi atau atribut yang diperlukan, dan karena itu harus kecelakaan. Tapi itu Ibnu Sina yang kemudian menjadi sumber bagi kontroversi mengenai bagaimana eksistensi accidentality harus dipahami. Dia telah menyatakan bahwa dalam keberadaan-hakekat (wujud-mahiyya) atau hubungan eksistensi-esensi, keberadaannya kecelakaan hakekat. Ibnu Rusyd mengkritik pandangan ini sebagai entailing sebuah kemunduran, karena jika keberadaan sesuatu bergantung pada penambahan kecelakaan itu, maka prinsip yang sama harus berlaku untuk keberadaan itu sendiri. Ini hanyalah argumen terhadap keberadaan-hakekat dikotomi, tetapi al-Suhrawardi telah menambahkan argumen lain ini, menyatakan bahwa jika eksistensi itu merupakan atribut dari hakekat, hakekat itu sendiri harus ada sebelum menarik atribut ini agar dapat sehingga memenuhi syarat. Dari sini, al-Suhrawardi yang lebih radikal menyimpulkan kesimpulan bahwa keberadaan hanyalah sebuah konsep mental yang tidak sesuai realitas, dan bahwa itu adalah hakekat yang merupakan kenyataan.
Itu adalah pandangan ini, bahwa dari keunggulan hakekat (asalat al-mahiyya), yang memegang kekuasaan dalam tulisan filosofis di Iran sampai dengan Mulla Sadra's waktu. Memang, Mir Damad, Mulla Sadra's guru, memegang pandangan ini. Namun, Mulla Sadra sendiri mengambil pandangan sebaliknya, bahwa hal itu adalah keberadaan yang merupakan realitas dan bahwa itu adalah quiddities yang merupakan konstruksi mental. Dengan mengambil posisi keunggulan keberadaan, Mulla Sadra mampu menjawab keberatan Ibn Rusyd dan Illuminationists dengan menunjukkan bahwa eksistensi hakekat kebetulan ke dalam pikiran sejauh itu bukan bagian dari esensi. Ketika itu adalah kasus untuk menghubungkan keberadaan existentiality Namun, apa yang sedang didiskusikan adalah atribut yang penting, dan demikian pada saat ini yang mengalami kemunduran berhenti, karena sumber atribut yang penting adalah hakikat itu sendiri.
2. Sistematis ambiguitas eksistensi
Sebuah seiring Mulla Sadra teori bahwa realitas dan eksistensi adalah identik adalah bahwa keberadaan adalah satu tetapi dinilai dalam intensitas, untuk ini ia memberi nama tashkik al-wujud, yang telah bermanfaat diterjemahkan sebagai 'sistematis ambiguitas' eksistensi. Al-Suhrawardi, dalam kontras dengan peripatetics, telah menegaskan bahwa yang mampu quiddities berbagai intensitas misalnya, ketika sebuah warna, misalnya biru, mengintensifkan itu bukan spesies baru 'kebiruan' yang akan menggantikan yang lama, tapi agak sama 'biru' diintensifkan. Mulla Sadra mengadopsi teori ini, tetapi digantikan dengan adanya hakekat, yang baginya satu-satunya realitas. Ini memungkinkannya untuk mengatakan bahwa eksistensi yang sama yang terjadi dalam segala hal, tapi itu contoh-contoh eksistensial berbeda dalam hal 'prioritas dan hal yg terjadi, kesempurnaan dan ketidaksempurnaan, kekuatan dan kelemahan' (membuat realitas serupa dengan al-Suhrawardi's Light). Dengan demikian, ia mampu menjelaskan bahwa keberadaan dan eksistensi sendiri yang memiliki hak milik menggabungkan 'kesatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam kesatuan'.
Oleh karena itu realitas eksistensi murni, tetapi keberadaan yang memanifestasikan dirinya dalam mode berbeda, dan inilah cara yang menunjukkan diri mereka sendiri dalam pikiran sebagai quiddities. Bahkan istilah 'dalam pikiran', bagaimanapun, adalah hanya sebuah ekspresi tertentu yang menunjukkan cara berada, bahwa eksistensi mental (al-wujud al-dhihni), meskipun modus yang sangat dilemahkan. Semuanya demikian dipahami oleh adanya, bahkan 'ketiadaan', yang harus di menjadi dikandung menganggap bagian yang paling kurus eksistensi untuk menjadi sebuah mental yang ada. Ketika realitas (atau lebih tepat disebut modus eksistensi) menampakkan diri kepada pikiran, pikiran abstrak yang hakekat dari itu - karena tak mampu, kecuali dalam keadaan luar biasa, untuk memahami eksistensi secara intuitif - dan dalam pikiran yang hakekat menjadi, seolah-olah, para realitas dan eksistensi kecelakaan. Namun, ini 'eksistensi' yang pikiran predikat dari hakekat itu sendiri hanya sebuah gagasan atau konsep, salah satu inteligensi sekunder. Inilah yang paling universal dan paling jelas konsep yang dimaksud Aristoteles, dan yang al-Suhrawardi dianggap sebagai univocal. Tetapi dalam kenyataannya tidak ada dua 'hal', keberadaan dan hakekat, hanya eksistensi - bukan konsep, tetapi kenyataannya - dan begitu "eksistensi" tidak dapat dianggap sebagai atribut dari hakekat nyata, karena kalau ini adalah hakekat mungkin harus dianggap sebagai sudah ada, sebagai al-Suhrawardi sudah mengajukan keberatan.
3. Substansial gerak
Lain dari sifat kunci untuk Mulla Sadra eksistensi adalah transubstantiality, dilakukan melalui apa yang disebut gerak dalam substansi (al-haraka fi'l-Jawhar) atau gerak substansial (al-haraka al-jawhariyya). Para peripatetics telah berpendapat bahwa hanya substansi perubahan tiba-tiba, dari satu substansi yang lain atau dari satu instant ke yang lain, di generasi dan korupsi (dan karenanya sublunar hanya di dunia), dan bahwa gerakan bertahap hanya terbatas pada kecelakaan (kuantitas, kualitas, tempat). Mereka juga berpendapat bahwa kesinambungan gerakan adalah sesuatu yang hanya dalam pikiran, yang bersama-sama senar tak terbatas yang berpotensi serangkaian infinitesimal - bukan dalam gaya film - untuk menghasilkan ilusi gerakan, meskipun perpanjangan waktu sebagai bagian yang sejati pengalaman kami. Apa yang menimbulkan gerakan adalah substrat yang tidak berubah, bagian yang esensi adalah bahwa pada titik yang tak terbatas di ruang angkasa pada suatu instan dalam waktu; dengan kata lain, gerakan dan potensi di dalamnya adalah bahwa melalui yang menjadi aktual. Mulla Sadra ini benar-benar menolak, dengan alasan bahwa realitas substansi ini, yang menjadi, harus berada dalam gerakan itu sendiri, karena hasil bersih dari pandangan yang bergerak hanyalah konglomerasi statis spatio-peristiwa temporal. Gerakan dari potensialitas ke aktualitas sesuatu sebenarnya adalah gagasan abstrak dalam pikiran, sementara materi yang sendiri adalah dalam terus-menerus berubah terus-menerus mengalami perubahan substansial. Selain itu, perubahan besar ini adalah harta yang tidak hanya dari unsur duniawi makhluk (yang terdiri dari bumi, air, udara dan api), tetapi makhluk surgawi juga. Mulla Sadra menyamakan perbedaan antara kedua pemahaman gerakan untuk perbedaan antara disarikan, gagasan derivatif eksistensi dan keberadaan yang realitas itu sendiri.
Mulla Sadra eksistensi dalam sistem filosofis, seperti yang telah dilihat, dicirikan oleh ambiguitas sistematis (tashkik), diberi karakter yang sistematis oleh gerakan substansial, yang selalu dalam satu arah menuju kesempurnaan. Dengan kata lain, eksistensi dapat dipahami sebagai sebuah eksistensi berlangsung terus-menerus, yang dengan demikian merupakan satu kesatuan dengan internal yang senantiasa berkembang dinamis. Hal-hal apa yang memberikan identitas mereka adalah esensi yang kita bayangkan abstrak dari modus eksistensi, sementara realitas selalu berubah, melainkan hanya ketika poin-poin penting dicapai bahwa kita merasakan perubahan ini dan esensi yang baru terbentuk dalam pikiran kita, meskipun perubahan telah terus-menerus terjadi. Waktu adalah ukuran dari proses pembaruan ini, dan bukan merupakan suatu entitas independen sehingga peristiwa terjadi di dalamnya, tetapi lebih merupakan sebuah dimensi persis seperti tiga dimensi: dunia fisik adalah sebuah kontinum spatio-temporal.
Semua ini Mulla Sadra izin untuk memberikan solusi asli kepada masalah yang telah terus-menerus mengadu filsuf terhadap teolog dalam Islam, bahwa dari keabadian dunia. Dalam sistem, dunia adalah kekal sebagai suatu proses terus-menerus terungkapnya keberadaan, tapi karena keberadaan dalam terus-menerus berubah karena terus-menerus melakukan perubahan substansial, setiap manifestasi baru dari eksistensi di dunia muncul pada waktunya. Dunia - yaitu, setiap spatio-waktu aktivitas dari langit tertinggi ke bawah - dengan demikian temporal berasal, walaupun secara keseluruhan dunia juga kekal dalam arti bahwa ia tidak memiliki awal atau akhir, karena waktu bukanlah sesuatu yang ada secara mandiri dalam yang pada gilirannya dunia ada (lihat Eternity).
4. Epistemologi
Mulla Sadra's radikal ontologi juga memungkinkan dia untuk menawarkan epistemologi kontribusi asli, menggabungkan aspek-aspek teori Ibnu Sina pengetahuan (di mana Akal Aktif, sedangkan sisanya benar-benar transenden, actualizes pikiran manusia dengan menanamkan dengan bentuk-bentuk intelektual sesuai dengan keadaan persiapan untuk menerima bentuk-bentuk ini) dengan teori pengetahuan diri melalui pengetahuan dengan kehadiran yang dikembangkan oleh al-Suhrawardi. Mulla Sadra's epistemologi ini didasarkan pada identitas intelek dan dipahami, dan pada pengetahuan identitas dan eksistensi. Teori gerak substansial, di mana keberadaan adalah sebuah proses dinamis terus bergerak ke arah yang lebih besar intensitas dan kesempurnaan, telah memungkinkan dirinya untuk menjelaskan bahwa bentuk-bentuk baru, atau modus, eksistensi tidak menggantikan bentuk-bentuk sebelumnya tetapi sebaliknya menggolongkan mereka. Pengetahuan, yang identik dengan keberadaan, mengulangi proses ini, dan dengan memperoleh bentuk dipahami berturut-turut - yang berada dalam mode realitas yang ada dan tidak penting bentuk, dan dengan demikian keberadaan berturut-turut intensifications - bergerak secara bertahap intelek manusia terhadap identitas dengan Intelek Aktif. Intelek dengan demikian menjadi diidentifikasi dengan inteligensi yang menginformasikan hal itu.
Selain itu, untuk Mulla Sadra inteligensi sebenarnya adalah self-cerdas dan intellected diri, karena akal yang sebenarnya tidak dapat dianggap telah berhenti menjadi dipahami setelah dianggap di luar hubungannya dengan intelek. Sebagai intelek manusia memperoleh lebih inteligensi, berangsur-angsur bergerak ke atas dalam hal intensifikasi dan kesempurnaan eksistensi, kehilangan ketergantungannya pada quiddities, sampai menjadi satu dengan Intelek Aktif dan memasuki wilayah keberadaan murni. Manusia bisa, tentu saja, biasanya paling-paling hanya mencapai sebagian identifikasi dengan Intelek Aktif sepanjang mereka tetap dengan tubuh fisik mereka, hanya dalam kasus nabi bisa ada identifikasi lengkap, yang memungkinkan mereka untuk memiliki akses langsung untuk pengetahuan bagi diri mereka sendiri tanpa perlu instruksi. Memang, hanya sedikit sekali pikiran manusia mencapai identifikasi dengan Intelek Aktif bahkan setelah kematian.
5. Metodologi
Bahkan singkat ini Mulla Sadra tentang doktrin-doktrin utama akan telah memberikan beberapa gagasan tentang peran yang dimainkan dalam filsafat oleh pengalaman dari realitas yang digambarkan. Bahkan ia dikandung dari Hikmah (kebijaksanaan) sebagai 'datang untuk mengetahui hakikat manusia sebagaimana adanya' atau sebagai 'seorang laki-laki menjadi dunia intelektual yang berhubungan dengan dunia objektif'. Filsafat dan mistisisme, Hikmah dan tasawuf, adalah untuk dia dua aspek dari hal yang sama. Untuk terlibat dalam filsafat tanpa mengalami kebenaran isinya membatasi para filsuf dunia yang esensi dan konsep, sementara pengalaman mistik tanpa disiplin intelektual filsafat hanya dapat mengarah ke keadaan ekstase tak terlukiskan. Ketika kedua berjalan bergandengan tangan, pengalaman mistik realitas menjadi isi intelektual filsafat.
Empat perjalanan, ke bagian utama yang terbagi Asfar, sejajar sebuah divisi empat kali lipat dari perjalanan sufi. Yang pertama, perjalanan penciptaan atau makhluk (khalq) kepada kebenaran (al-haqq), adalah yang paling filosofis; sini Mulla Sadra menjabarkan dasar dari ontologi, dan cermin panggung di jalan Sufi di mana ia berusaha untuk mengendalikan nafs lebih rendah di bawah pengawasan para syaikh. Dalam perjalanan kedua, di dalam Kebenaran dengan Kebenaran, tahap di mana sufi mulai menarik manifestasi Ilahi, Mulla Sadra berurusan dengan bahan-bahan sederhana, kecerdasan, jiwa dan tubuh mereka, karena itu termasuk pembahasan tentang ilmu-ilmu alam . Dalam perjalanan ketiga, dari kebenaran untuk ciptaan dengan kebenaran, pengalaman Sufi peniadaan dalam Ketuhanan, dan Mulla Sadra berurusan dengan teodisi; tahap keempat, perjalanan dengan kebenaran dalam penciptaan, di mana ia memberikan penuh dan sistematis tentang perkembangan jiwa manusia, asal-usulnya, menjadi dan akhir, adalah di mana pengalaman Sufi ketekunan dalam pemusnahan, tenggelam dalam keindahan kesatuan dan keragaman manifestasi.
Mulla Sadra telah menggambarkan realisasi rohani membutakan keunggulan eksistensi sebagai semacam 'konversi':
     Pada awal hari saya pernah menjadi pembela yang penuh gairah tesis bahwa quiddities adalah konstituen utama realitas dan eksistensi konseptual, sampai Tuhanku memberikan bimbingan rohani dan biarkan aku melihat demonstrasi-Nya. Tiba-tiba mata rohani saya terbuka dan aku melihat dengan sangat jelas bahwa kebenaran itu hanya bertentangan dengan apa yang filsuf pada umumnya telah dilaksanakan .... Akibatnya [saya sekarang berpendapat bahwa] dengan eksistensi (wujudat) merupakan realitas utama, sementara quiddities adalah 'permanen arketipe' (a'yan thabita) yang tidak pernah mencium bau wangi keberadaan.
Karena itu, tidak mengherankan bahwa Mulla Sadra sangat berutang budi kepada Ibn al-'Arabi dalam banyak aspek filsafatnya. Ibnu Sina memberikan tanah yang dibangun metaphilosophy-nya dan, seolah-olah, lensa yang bergerak dia pandangan filsafat. Namun karyanya juga penuh dengan kutipan dari Presocratics (terutama Pythagoras), Plato, Aristoteles, Neoplatonists (lihat Neoplatonisme dalam filsafat Islam) dan kaum Stoic (diambil secara alami dari sumber-sumber Arab), dan ia juga mengacu pada karya-karya al -Farabi, dan Abul Hasan al-Amiri, yang telah prefigured Mulla Sadra teori kesatuan kecerdasan dan dipahami. Warisan filosofis ini kemudian diberi bentuk melalui illuminationism al-Suhrawardi, yang nilai statis alam semesta cahaya ia berubah menjadi kesatuan yang dinamis dengan menggantikan keberadaan keunggulan untuk yang kedua dari hakekat keutamaan. Hal ini dalam membentuk ini bahwa pengaruh Ibn al-Arabi, Mulla Sadra yang kutipan dan komentar di dalam ratusan kasus, dapat paling sangat dirasakan. Tidak hanya adalah bahwa Mulla Sadra jelas dalam pemecatan total peran apapun dalam sifat hakekat realitas, tetapi pada kepentingan yang baik dia dan Ibn al-'Arabi berikan kepada dunia imaginal ( 'alam al-mithal,' alam al - Khayal).
Ibnu Sina dalam psikologi, yang imaginal fakultas (al-quwwa al-khayaliyya) adalah situs untuk manipulasi gambar disarikan dari benda-benda dan dipertahankan dalam sensus communis. Imaginal dunia yang pertama kali secara resmi diusulkan oleh al-Suhrawardi dunia sebagai perantara antara tubuh yang material dan bahwa entitas intelektual, yang independen dari materi dan dengan demikian selamat dari tubuh setelah kematian. Ibn al-'Arabi telah menekankan aspek kreatif kekuatan ini berasal dari bentuk-bentuk imaginal hanya kemauan yang setiap bit nyata seperti, jika tidak lebih nyata daripada, perceptibles tetapi yang bertahan hidup dalam punya tempat. Untuk Mulla Sadra, dunia ini adalah tingkat eksistensi imaterial yang mungkin bagi jiwa manusia (dan tentu saja bentuk-bentuk yang lebih tinggi tertentu jiwa hewani) untuk berhubungan, walaupun tidak semua gambar yang dibentuk oleh jiwa manusia yang selalu tulus dan karena itu bagian dari dunia imaginal. Untuk Mulla Sadra, seperti juga bagi Ibn al-'Arabi, yang imaginal dunia adalah kunci untuk memahami hakikat kebangkitan badan dan hidup di akhirat, yang ada sebagai dunia imaterial yang tetap nyata (mungkin bisa dikatakan lebih nyata daripada fisik dunia), di mana tubuh bertahan sebagai suatu bentuk imaginal setelah kematian.
Filsafat selalu memiliki hubungan tegang dengan teologi dalam Islam, terutama dengan wacana yang kedua dari iman (iman) dan ortodoksi. Karena itu, filsafat telah sering dilihat, biasanya oleh non-filsuf, sebagai sekolah dengan doktrin-doktrin sendiri. Hal ini terjadi walaupun para filsuf pernyataan diri bahwa apa yang mereka terlibat dalam praktik adalah tanpa akhir (karena, seperti Ibnu Sina telah menyatakan bahwa apa yang diketahui manusia terbatas dan mungkin hanya bisa terpenuhi ketika hubungan antara jiwa dengan tubuh terputus melalui kematian), bagian dari disiplin yang terdiri dalam menghindari taqlid, yang tidak kritis kepatuhan terhadap sekte (lihat Islam, konsep filsafat dalam). Ini merupakan ciri penting Mulla Sadra's metodologi yang ia terus-menerus berusaha untuk mengatasi kekhususan sistem apapun - Platonis, Aristotelian, Neoplatonic, mistik atau teologis - oleh berjuang untuk menciptakan melalui instrumen metaphilosophy yang logika semua mungkin argumen filosofis diuji. Itu adalah ukuran dari kesuksesan yang ia telah tetap sampai sekarang yang paling berpengaruh 'modern' filsuf di dunia Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. 1990. Bumi Aksara: Jakarta
Magribi, Hamdan. Filsafat dan Teologi Pemikiran Islam.
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. 2008. Bumi Aksara: Jakarta
Izutsu Toshihiko (1971) Konsep dan Realitas Kehidupan, Studi di Hubungan Sosial dan Humaniora 13, Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies.

Nasr, S.H. (1978) Sadr al-Din Syirazi dan Transenden-Nya Theosophy: Latar Belakang, Life and Works, Teheran: Imperial Academy of Philosophy.

Nasr, S.H. (1996) 'Mulla Sadra: Ajaran-Nya ", dalam S.H. Nasr dan O. Leaman (ed.) Sejarah Filsafat Islam, London: Routledge, 643-52. (Short ringkasan dari pemikiran Mulla Sadra.)

Rahman, F. (1975) The Philosophy of Mulla Sadr (Sadr al-Din al-Syirazi), Albany, NY: State University of New York Press. (Untuk saat ini, satu-satunya skala penuh studi filsafat Mulla Sadra dalam bahasa Inggris.)

Ziai, H. (1996) 'Mulla Sadra: His Life dan Works', in SH Nasr dan O. Leaman (ed.) Sejarah Filsafat Islam, London: Routledge, 635-42. (Esai biografis membahas Mulla Sadra pengaruh dan bekerja.)



PEMIKIRAN MUNAWIR SJDZALI DAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA


MUNAWIR SJADZALI DAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Masnun Tahir
A. Pendahuluan
Ketika pertama sekali pada akhir 80-an, Munawir Sjadzali melontarkan isu tentang reaktulisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan gugatan yang cukup fundamental pada nas}s}-nas}s} syari’ah. Pada saat itulah ia mulai memasuki persoalan dilematis antara syari’ah yang bersifat holistik dan realitas ke-Indonesiaan yang bersifat domestik.
Namun di luar dari pengemukaan ide tersebut, ia telah mencoba membangun karakter baru syari’ah, yang dalam lontaran politik, dikenal dengan istilah “membangun peradaban dan karakter masyarakat yang khas Indonesia (nation state and character building), yang pluralistik dan anti diskriminasi berdasarkan apapun”. Persamaan equalitas pria dan wanita dalam pandangan berbangsa, seperti terumuskan dalam UUD 1945, tidak hanya dalam urusan waris, tetapi hampir pada seluruh aspek kehidupan. Sementara itu dalam tafsir al-Qur’an dan al-Hadis dilema tersebut hampir terjadi di setiap aspek kehidupan. Dilema yang sama juga terjadi pada pergaulan antar umat beragama, antara muslim dan non muslim. UUD 1945 anti terhadap diskriminasi berdasarkan gender, agama dan lainnya, sedangkan syari’ah memberlakukan sebaliknya.
Menghadapi realitas seperti demikian, umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua pilihan; antara menggunakan syari’ah yang ada secara fundamental, dengan konsekuensi umat Islam termarginalkan dalam pergaulan masyarakat modern yang berkembang dengan sangat kompleks, atau menyerahkan kepada hukum sekuler secara absolut tanpa bantahan, yang berarti meninggalkan doktrin al-Qur’an dan al-Hadis. Kemungkinan lain adalah menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sejalan dengan semangat perkembangan masyarakat, dengan tetap konsisten, tanpa mengubah identitas dasar Islam. Pilihan inilah yang kemudian didengungkan oleh beberapa pembaharu modern Islam termasuk Munawir Sjadzali.
Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya secara genial ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya.
B. ISI
1. Biografi Intelektual-Sosial Munawir Sadzali
Dalam rangka menyingkap lebih dalam misteri pemikiran seseorang, secara inherent pemaparan mengenai setting histories-nya menjadi keharusan. Amin Abdullah menggaris-bawahi bahwa lingkungan yang menjadi tempat seseorang dan masyarakat berada, ikut mempengaruhi proses aktualisasi norma-norma dalam kehidupan praksis-sosialnya. Keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praksis, sebenarnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan di manapun ia berada.) Jadi ide dan gagasan pemikiran seseorang pasti selalu based on historical problems. Oleh karena itu, terkait dengan Munawir Sjadzali sebagai representasi pemikir politik Islam, konteks lingkungannya cukup strategis untuk diabstraksikan.)
Munawir Sjadzali lahir di Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah tanggal 7 Nopember 1925. Ia adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadazali dan Tas’iyah. Dari segi ekonomi, keluarganya tergolong jauh dari sejahtera, tetapi dari segi agama keluarga ini adalah santri.
Pendidikan SD dan SMP di Solo (1937-1940); Sekolah Tinggi Islam Mamba’ul Ulum dan SMA di Solo (1943). Setelah menamatkan sekolah ini ia langsung menjadi guru di Ungaran, Semarang (1944-1945), Kursus Diplomatik dan Konsuler Deplu di Universitas Exeter, Inggris Raya (1953-1954); memperoleh M.A. dari Universitas Georgetown, AS (1959) mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. )
Selama masa perjuangan kemerdekaan ikut menyumbangkan tenaga antara lain sebagai penghubung antara markas pertempuran Jawa Tengah dengan badan-badan kelaskaran Islam. Ia adalah tokoh intelektual dan agama serta diplomat yang menjabat sebagai Menteri Agama sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
Karirnya di Departemen luar negeri dirintis sejak tahun 1950 ketika ditugaskan pada seksi Arab/Timur Tengah. Di luar negeri, ia menjalankan tugas berturut-turut di Washington DC (1956- 1959) dan Kolombo (1963-1968). Kemudian menjabat sebagai Minister/Wakil Kepala Perwakilan RI di London (1971-1974) dan selanjutnya diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-1980).
Adapaun tugas-tugasnya di dalam negeri adalah Kepala Biro Tata Usaha Departemen luar Negeri (1969-1970), Kepala Biro Umum Deplu (1975-1976), Staf Ahli Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Setelah itu diangkat menjadi Menteri Agama selama dua periode (1983-1993). Jabatan lain yang pernah dijalaninya adalah anggota DPA dan pernah menjadi ketua KOMNAS HAM> Republik Inddonesia.)
Pak Mun –begitu sapaan akrabnya- telah berpulang ke rahmatullah pada jumat 23 Juli 2004 di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Almarhum sempat dirawat di rumah sakit tersebut sejak 8 Juni 2004 akibat serangan stroke dan komplikasi beberapa penyakit. Almarhum Pak Munawir dikenal sebagai pendidik, diplomat, birokrat dan sekaligus pemikir. Sebagai pendidik ia dikenal dengan ide-ide cemerlangnya menyangkut perbaikan sistem pendidikan Islam dan masa depan mutu cendekiawan muslim. Saat ini doktor-doktor Islam lulusan Universitas di Barat ( MC Gill, UCLA) tidak akan mungkin melupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali, karena dialah yang memperjuangkan jalur studui ke barat tersebut ketika menjabat sebagai Menteri Agama. Proyek Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang dibuka sejak tahun 1988 dan kelak melahirkan banyak sekali bibit unggul, lahir dari pikirannya pula.)
Sebagai Menteri Agama, Munawir telah banyak mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada di bawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara. Rumusan yang diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream kebijakan negara yang ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk yang berhaluan keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat Menteri Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan umat Islam. Tercatat beberapa peraturan-peraturan yang nampaknya menguntungkan Umat Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan umat Islam dan Departemen Agama seperti UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.)
Selain sebagai diplomat ulung Munawir juga seorang intelektual yang cukup produktif, sehingga sangat banyak karya yang telah ditulisnya, sebagian ada yang sudah dibukukan dan sisanya masih terpencar. Di antara karya-karya Munawir yang berupa buku adalah:
  1. Islam dan Tata Negara” merupakan pokok pikirannya tentang wacana politik Islam yang dikomparasikan dengan konteks pluralitas bangsa Indonesia, diterbitkan oleh UI Press.
  2. “Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa” yang berbicara mulai dari karakter dasar hukum Islam sampai Pancasila, diterbitkan oleh UI Press.
  3. “Ijtihad Kemanusiaan”. Buku ini mengupas segi inner dinamic Islam sebagai rah}matan li al-a>lami>n dalam perspektif kemanusiaan, diterbitkan oleh Paramadina.
  4. “Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini”. Buku ini berisi tentang tawaran Munawir tentang problematika yang dihadapi umat Islam dewasa ini.
  5. Islam and Govermental System: Teaching, History and Reflections”, diterbitkan oleh INIS Jakarta.
  6.  “Reaktualisasi Hukum Islam”. Tema ini tersebar di dalam berbagai buku, bahkan sebagai tema polemik dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia. Misalnya dalam buku “Ijtihad Dalam Sorotan”, “Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,” dan “Hukum Islam di Indonesia”.
Untuk menghargai jasa-jasa Pak Munawir dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia ada beberapa karya khusus didedikasikan kepadanya antara lain: Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali,) Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,) Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik,) Islam, Negara dan Civil Society,) dan Islam berbagai Perspektif.)
2. Pemikiran Munawir Tentang Hubungan Islam dan Negara
Jika diletakkan dalam konteks dunia Islam, perhatian Munawir terhadap masalah hubungan antara Islam versus negara, yang terutama terepleksikan dalam karya intelektualnya, sebenarnya sesuatu yang wajar. Di seluruh dunia Islam, hubungan Islam dan negara memang sudah lama menjadi satu persoalan pelik. Ungkapan inna al-Isla>m di>n wa dawlah yang populer di lingkungan kaum muslim sebenarnya lebih menunjuk pada manifestasi Islam dalam sejarah daripada sebuah rumusan konsepsional yang aplicable dalam realitas. Oleh karena itu, tepatnya sejak keruntuhan kolonialisame Barat pada pertengahan abad ke-20 negara-negara Islam seperti Turki, Mesir, Sudan atau Aljazair mengalami kesulitan dalam upaya membangun hubungan yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di sejumlah negara itu, posisi Islam versus negara senantiasa berada pada kutub-kutub pemikiran dan aksi politik yang saling tarik menarik dan antagonistik. Padahal pada saat yang sama di sejumlah negara itu Islam menduduki posisi penting, baik karena masa lalunya maupun karena Islam merupakan agama yang dianut mayoritas penduduknya. Oleh karena itulah kalangan pengamat muncul pertanyaan krusial: apakah Islam sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, dimana ide negara bangsa (nation-state) merupakan unsur terpentingnya.)
Dalam konteks Indonesia hubungan antara Islam dan negara memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar geneologisnya dapat ditarik ke belakang hingga akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika Islam -seperti dikatakan banyak kalangan- pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Dalam perjalanan sejarahnya yang kemudian inilah Islam, sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas-realitas sosio-kultural dan politik setempat, terlibat dalam politik. Pada kenyataannya malah dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya di Indonesia telah menjadi bagian integral dari sejarah politik negeri ini –meskipun ini tidak serta merta mengandaikan bahwa Islam secara inheren adalah agama politik, seperti dikatakan sejumlah pengamat.)
Sejak negara ini merdeka masalah tersebut telah menyulut ketegangan, permusuhan, bahkan konflik fisik antara keduanya. Dalam masa-masa formatif negara ini kaum muslim tidak hanya terus menerus menyuarakan aspirasinya untuk tidak hanya menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi juga menjadikan sistem politik Islam sebagai panduan dalam mengatur negara. Sejarah menjadi menarik berhubungan dengan munculnya beberapa komunitas yang berobsesi mewujudkan sebuah negara agama (DI TII/NII) berdasarkan syari’ah di abad modern ini. Perdebatan tentang keterlibatan Tuhan dan implikasi kebijakan-Nya menjadi ramai kembali, ketika pemberontakan atas nama agama meletus di sana sini waktu itu (Aceh, Jawa Barat, Sulawesi).) Meskipun usaha ini selalu berujung pada sebuah kegagalan, namun aspirasi ini tidak pernah berhenti dan secara konstan tetap menjadi wacana yang menarik. Setiap ada kesempatan dan peluang sekecil apapun aspirasi demikian kembali muncul ke permukaan. Hampir sepanjang abad, ada sebagian umat Islam, bercita-cita bahkan memberontak untuk sekedar sebuah wujud obsesi ini. Sejarah menjadi menarik bertitik taut dengan munculnya beberapa komunitas yang berobsesi mewujudkan sebuah negara (teokrasi) berdasarkan syari>’ah (integral) di abad modern ini misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).) Dalam konteks Indonesia, hampir setiap sidang yang diselenggarakan oleh DPR/MPR isu tentang usaha pemberlakukan Piagam Jakarta tetap menjadi isu yang menarik.
Setidaknya terdapat dua kesempatan dan peluang resmi yang digunakan kaum muslim untuk mewujudkan aspirasi politiknya. Pertama, pada saat berlangsungnya diskusi mengenai dasar negara pada tahun 1945. Pada saat ini wakil-wakil Islam mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi atau agama negara. Kedua, pada dekade 1950-an dalam sidang-sidang konstituante yang memberi peluang apada setiap kelompok untuk mendiskusikan kembali konstruk ideologi dan undang-undang dasar. Bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi pada kesempatan pertama, kesempatan kedua ini menyajikan perdebatan lebih luas mengenai pentingnya ideologi Islam dan konsepsi sistem politik Islam dalam negara Indonesia.)
Kerasnya sikap kaum muslim dalam memperjuangkan aspirasi politik ternyata membawa implikasi negatif –jika tidak boleh dikatakan merugikan- masyarakat Islam sendiri, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Di kalangan pemerintah tidak hanya muncul kecurigaan terhadap kaum muslim, tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi demikian pada gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit pemikir dan aktivis politik Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berkembang rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara.
Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai Menteri Agama. Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompok-kelompok Islam lama yang masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara a priori menolak Pancasila sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru yang tidak lagi memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya malah bersemboyan “Islam Yes, Partai Islam No”; dan kalangan ormas-ormas Islam yang lain masih bersikap menunggu.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat langsung dalam organisasi-organisasi Islam,Munawir mengakui dapat sepenuhnya mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini, ia dapat berpikir dan menganalisis secara “objektif” perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. )
Problematika hubungan Islam dan negara di anah air sebenarnya setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante pasca kemerdekaan (akhir tahun 1950-an) , masalah ini meruncing dan tidak pernah terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang non teokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya.
Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu:
Pertama, paradigma integralistik. Dalam konsep ini agama dan negara menyatu (integral). Agama Islam dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah negara (di>n wa dawlah). Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (devine sovereignity) karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.)
Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Hanya saja dalam term politik Syi’ah, untuk menyebut negara (ad-dawlah) diganti dengan istilah ima>mah (kepemimpinan). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyeleggarakan “kedaulatan Tuhan”, negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis, salah satu wacana yang dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (syari’ah).
Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara agama, di mana praktek ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam di>n wa dawlah. Sumber hukum positipnya adalah sumber hukum agama. ) Selain kelompok Syi’ah, pendukung paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Sekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana Al-Maududi. )
Kedua, Paradigma Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika. Paradigma simbiotik ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi dalam bukunya al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepemimpinan negara (ima>mah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (hara>s\ah al-di>n wa al-dunya>). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.)
Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti disyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan atau kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dalam menyelesaikan persoalan politik ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Pemikir-pemikir lain juga berpendapat demikian adalah al-Ghazali (w. 1111) dalam karyanya Nas}iha>t al-Mulk, Kimiya-yi al-Sa’a>da>t dan al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d.)
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama daan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm, Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan Khulafa>’ al-Ra>syidi>n, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. Ali Abd Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok pandangannya bahwa:
Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.)
Pandangan Raziq ini tentu saja menyulut kontroversial bahkan hingga sekarang. Rashid Ridha merasa gerah dengan pikiran Raziq sehingga menulis buku “al-Khila>fah aw al-Ima>mah al-Uz}ma>” dan “Yusr al-Isla>m wa Us}u>l al-Tasyri>’ al-A<m”></m”>. Munculnya karya Khalid Muhammad Khalid “Min Huna> Nabda’”, karya al-Gazali “Min Huna> Na’lam”, karya Sayyid Qutb “al-‘Ada>lah al-Ijtima>iyyah”, Muhammad ‘Ima>rah “al-Isla>m Wa Us}u>l al-Ahka>m Li ‘Ali> ‘Abd al-Razi>q”, semuanya merupakan diskusi lebih lanjut tentang perbedaan pendapat mengenai Islam versus negara.) Tokoh lain yang mengikuti pendapat ini adalah Thaha Husein.)
Namun yang menarik adalah hasil penelitiannya Muhammad Qasim Zaman di mana setelah melacak kembali data-data sejarah awal Islam akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa “tidak ada bukti sejarah yang kuat yang mengindikasikan adanya pemisahan agama dari politik dalam sejarah Islam”.)
Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang akhirnya ia berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya bertanggungjawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik.)
Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam bidang-bidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam.)
Pandangan Munawir ini diperkuat oleh Ibrahim Hosen dengan mengatakan bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah termasuk Da>r al-Isla>m yang pemerintahannya wajib ditaati oleh warga negara RI yang beragama Islam, sejalan dengan firman Allah:
يايها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الامر منكم... )
Alasan Hosen adalah bahwa di Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Umat Islam bukan saja dilindungi dan dijamin hak-haknya, akan tetapi juga diberi kebebasan berdasarkan undang-undang untuk mengamalkan ajaran agamanya, bahkan mengembangkan dan menyebarluaskannya. Lebih dari itu malah, pemerintah membantu dan ikut aktif mengembangkan, memajukan dan menyemarakkan syi’ar agama Islam.)
Alasan lain adalah bahwa dalam proses penyusunan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara serta isinya sesuai dengan teori dan konsepsi siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah dan tidak ada satu butirpun yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip keadilan juga tercermin di sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip umum pensyari’atan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut Ibrahim Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk kemaslahatan.)
Tokoh lain yang memperkuat pandangan politik Munawir ini adalah KH. Sahal Mahfud (kini Ketua MUI Pusat). Sahal berpandangan bahwa Islam dan politik mempunyai titik singgung yang erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekedar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.
Menurut Sahal dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan bernegara. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.)
Jadi dalam rumusan Sahal, Islam dipandang sebagai kekuatan integratif terhadap negara. Islam adalah faktor komplementer bagi komponen-komponen lain bukan sebagai faktor tandingan yang justru berpotensi menciptakan disintegrasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya sebagai faktor integratif, maka Islam harus difungsikan sebagai pendorong tumbuhnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.)
Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan inilah yang harus bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas politik. )
Dalam pemikiran politik Munawir Isu negara Islam itu sebenarnya sangat modern –artinya pada zaman nabi tidak pernah ada perdebatan apakah perlu negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep tentang negara, dan ada pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka wacana tentang negara Islam mulai lahir. Maka wacana negara –seperti Islam- sebenarnya berkaitan dengan perkembangan baru dunia Islam pasca-kolonial, bukan wacana berdasarkan syari’ah yang abadi dan tidak berubah. Tema melawan teokrasi ini biasanya dibicarakan dengan cara silent syari’ah.) Kunci utama dari pendukung tema ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut “mitologi negara Islam”, yaitu sebuah negara yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam (syari’ah) dan peleburan monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga mendesakkan dialog antar agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah masyarakat politik demokratis dan pluralistik.
Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir mengkaji gerakan Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari tarik menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di Indonesia tidaklah hadir secara spontan. Paling tidak ada empat hal yang melatarinya. Pertama, globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi komunikasi, seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan solidaritas umat Islam Global.
Kedua, Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya dalam bahasa agama.
Ketiga, “pengalaman” politik Indonesia di awal kemerdekaan, mengenai rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada “perampingan” laskar rakyat hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda dan Jepang sedangkan yang berasal dari “iniasiatif” rakyat seperti laskar di bawah komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya, kelompok yang tersingkirkan ini menjadi gerakan “pemberontak” yang mengusung negara Islam dan penegakan syariat Islam., karena sejak awal mereka memang menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah.
Keempat, adanya “pengalaman” penerapan syariat Islam di masa-masa kerajaan dahulu, seperti pernah termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam tahun 1835 yang dikeluarkan oleh Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh dan Padang-Minangkabau. Hal ini tentunya menjadi “ingatan “ yang tetap hidup dalam bawah sadar sosial masyarakat tertentu.
Keempat realitas ini tidak dilihat dalam kerangka “tradisionalis” yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki legitimasi historis dalam penerapan dan penegakan syariat Islam di Indonesia. Juga bukan dalam kerangka “liberalis” yang mengganggap bahwa “pengalaman” penerapan syariat Islam tidak memiliki akar historisnya di Indonesia.
Adapun yang menjadi dasar Pemikiran Politik Islam Munawir Sadzali adalah kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya perubahan-perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam. Menurut Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk merumuskan ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan hidup. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum (us}u>l al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawa>’id al-fiqh) akan menjaga agar proses penafsiran kembali itu tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan ulang statusnya, dan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu sendiri semula.)
Secara tidak disadari, proses reaktualiasasi itu telah menjadi alami dalam kehidupan kaum muslimin. Konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama kaum muslimin tetap pada pendirian untuk tidak “melangkahi” ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu merupakan upaya menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan, agar tidak kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka. Dalam jangka panjang, sikap ini akan mematangkan fungsi doktrin Islam dalam hidup mereka. Doktrin Islam, yang semula berarti kerangka hidup normatif dengan perwujudannya sendiri sebagai doktrin formal, lalu berubah menjadi etika masyarakat yang diserahkan sepenuhnya kepada pilihan-pilihan oleh warga masyarakat. Ia tidak berkembang menjadi hipokritas, karena pada dasarnya kemunafikan haruslah dilihat adanya pada kesengajaan untuk menggelapkan ajaran. Dalam proses reaktualisasi, yang terjadi adalah upaya penafsiran kembali dari satu orang ke lain orang di kalangan kaum muslimin, tanpa mengubah pandangan formal masyarakat muslim secara keseluruhan.
Terjadinya proses reaktualiasi, dan konsekuensinya perubahan ketentuan, hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukkan vitalitas nilai-nilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan perubahan atasnya, tetapi tetap tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan
Dasar lain yang menjadi landasan pemikiran politik Munawir adalah ijtihad. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung. Munawir memandang bahwa semua proses politik dalam sejarah, termasuk suksesi kekuasaan baik yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Ustman maupun Ali, sepenuhnya adalah inisiatif dan ijtihad manusia (para sahabat Nabi) belaka. Tak ada pentunjuk dari Nabi, apalagi dari Tuhan, tentang bagaimana seharusnya sebuah tata politik (polity) diciptakan. Dengan kata lain masalah politik sepenuhnya adalah rasional.
Menurut Munawir, ijtihad merupakan wujud kegiatan akal untuk berpikir, yang inherent dengan inti ajaran Islam sendiri (al-Qur’an maupun al-Hadis). Ijtihad bukan lahir dari proses sejarah sebagaimana terjadi di Barat, tetapi lebih dikarenakan oleh dorongan al-Qur’an dan al-Hadis agar manusia mempergunakan pikirannya dalam menghadapi problema kehidupan. Penggunaan ijtihad tidak terbatas wilayahnya, baik terhadap masalah-masalah yang tidak ada ketentuan dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun terhadap masalah-masalah yang sudah ada ketentuan dalam nas}s}, meskipun hadis Mu’adz dalam sejarahnya hanya menyebutkan pada masalah yang tidak terdeteksi dalam nas}s}.
Lebih lanjut Munawir mendorong tokoh-tokoh intelektual sesama muslim untuk melakukan ijtiha>d secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Menurut Munawir, dalam perkembangan sejarah doktrin Islam terdapat banyak penguasa Islam yang berani menempuh kebijakan hukum yang tidak sesuai secara harfiyah dengan bunyi ayat-ayat al-Qur’an dan atau ucapan maupun tindakan Nabi Muhammad SAW. Maka kalau kita berusaha memahami ajaran Islam dengan akal budi, dan tentu saja dengan rasa penuh tanggungjawab kepada Islam, kita bukanlah yang pertama dalam berijtihad. Munawir menyebutkan bahwa pelopor “penyimpangan” itu tidak lain ialah Umar bin Khattab sendiri. .)
Diilhami oleh keberanian dan kejujuran Umar, Munawir menyatakan bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang berani dan jujur dalam memberlakukan ajaran-ajaran Islam. Seraya meyakini dinamisme dan vitalitas doktrin Islam, ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan agenda-agenda reaktualisasi lewat ijtihad,untuk menjadikan Islam lebih sesuai dengan kekhasan lokal dan temporal Indonesia.




C. Penutup
Memang mengikuti alur pemikiran Munawir, dalam konteks pembaharuan ajaran Islam di Indonesia tampaknya akan menimbulkan sikap pro dan kontra. Gagasan kontroversial seperti ini agaknya secara sadar dimunculkan oleh Munawir agar tidak terjadi diskriminasi dan penomorduaan sekelompok anggota warga bangsa di bumi Indonesian yang plural ini. Sebab menurut keyakinannya diskriminasi apalagi hegemoni terhadap sekelompok warga secara telanjang jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi. Baginya demokrasi adalah salah satu nilai fundamental yang ada dalam Islam.
Yang penting menurut Munawir, adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Walhasil, visi Munawir tentang Indonesia masa depan adalah sebuah Indonesia yang demokratis, semua mempunyai hak yang sama dan tidak ada diskriminasi. Semoga.






DAFTAR PUSTAKA
Munawir Sjadzali, “ Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: Paramadina, 1995).
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993).
Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997)
M. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 2001)
A.Maftuh Abegebriel dkk, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004).
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia; Studi Sosio Legal Atas Konstituante1956-1959, terj. Sylvia Tiwon (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985),
Akh. Minhaji, “Sekali Lagi: Kontroversi Negara Islam” dalam Majalah Asy-Syir’ah No. 6 (tahun 1999).
Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam; Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front (Jakarta: Darul Falah, 1999).
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam Kultural (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Bahtiar Effendy “Islam Dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta: Paramadina, 1998).
Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998)
Charles Kurzman (ed.),Liberal Islam: A Sourcebook (Oxford: Oxford University Press, 1998).
Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV (tahun 1993).
Iqbal Rauf Saimina (ed.) Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF Islam, Negara dan Civil Society , (Jakarta: Paramadina, 2005)
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis (Chicago: Chicago of University Press, 1988).
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001)
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000),
Muhammad Qasim Zaman, “The Caliph, The Ulama, and The law: Defining the Role and Function of the Caliph in the Early ‘Abbasidh Period,” Islamic Law and Society 4 (January 1997).



KONSEP NEGARA ISLAM MENURUT MUNAWIR SJADZALI
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.
Pendahuluan
Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'ân) dikatakan agama yang hanya mengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara.
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'ân yang diyakini sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Embrio Pemikiran Politik Islam
Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah. Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini.
  • Pertama, meskipun paham-paham Islam lahir dari sebuah pergolakan politik, implikasi dari lahirnya kelompok politik yang ada adalah munculnya persoalan teologis. Karena persoalan ini membutuhkan pemecahan yang serius pada saat itu.
  • Kedua, hubungan intelektual dunia Islam dengan dunia luar, khususnya peradaban Yunani belum berjalan secara intens.
Namun tidak bisa disangkal walaupun diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politik di kalangan umat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqîfah Banî Sa'âdah muncul tiga ide politik, yaitu:
Kembali ke Sistem Kabilah
Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Banî Khazraj dan kaum separatis (riddah).
Sistem Hak Warisan
Ide ini lahir dari kalangan Banî Hâsyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang Arab selatan. Tokoh terkemuka pendukukng ide ini ialah al-Abbâs, 'Alî, dan Zubair.
Ide Persatuan Melalui Permusyawaratan
Ide ini didukung kaum muhajirin, kecuali Banî Hâsyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'ân agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan.
Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.
Di bawah pemerintahan 'Abbasiyah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan dari berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syihâb al-Dîn Ahmad Ibn Abî Râbi' kemudian disusul al-Farabi, al-Mâwardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldûn yang hidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas.
  • Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
  • Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.
Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya problem baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.
Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M.
  • Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan pembaharuan dan pemurnian.
  • Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat.
  • Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) ini dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu:
Kelompok Konservatif
Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî.
Kelompok Modernis
Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh.
Kelompok Liberal
Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.

Konsep Negara dalam al-Qur'ân
Para pemikir politik Islam abad pertengahan banyak mengadopsi pikiran Plato dan Aristoteles mengenai konsep terbentuknya negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti dikatakan al-Ghazalî, manusia itu tidak dapat hidup sendirian yang disebabkan oleh dua hal.
  • Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga.
  • Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.
Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan sebagainya. Semua faktor ini memerlukan kerja sama yang baik antar sesamanya. Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dan dari sinilah lahir suatu negara.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalîfah-Nya untuk memakmurkan bumi.
Dalam dunia Islam, ungkap Din Syamsuddin, secara umum kita menemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara.
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana pemikiran politiknya memandang bahwa negara (imâmah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki para keturunan Nabi SAW.
Berbeda dengan pemikiran politik Sunni, kelompok ini menekankan ijma' (konsesus) dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala negara. Sementara Syi'ah menekankan wilâyah (kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imâm). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara bersifat teokrasi.
Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maududî (w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Al-Mâwardî (w. 1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Ghazalî (w. 1111 M). Konsep far'i izâdî yang menjadi dasar simbiosa agama dan negara dalam pemikirannya mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra
Islam Iran. Konsep ini mengandung arti kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan. Peradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.
Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan risalah yang berjudul al-Islâm Wa ushûl al-Hukm, dikatakan bahwa Islam (al-Qur'ân) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk dengan khulafâur râsyidîn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islam tidak menetapkan rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara di Madinah. Menurutnya, Nabi adalah utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.
Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.
Dalam perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan politik Nabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah kecendrungan akal dan pengetahuannya.
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.
Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh, menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalîfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Menurut aliran pemikiran ini, istilah "daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam al-Qur'ân. Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentu dari sebuah negara.
Secara umum, polarisasi kecenderungan para pemikir politik Islam dalam memandang konsep negara dapat dikelompokkan kepada:
  1. Skripturalistik dan rasionalistik Kecenderungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran terhadap al-Qur'ân dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual.
  2. Idealistik dan realistik Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik.
  3. Formalistik dan substantivistik Pendekatan formalistik cenderung mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya, pendekatan substantivistik cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih memusatkan perhatian pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.
Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'ân juga sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalîfah sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami.
Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah:
  1. Keadilan (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
  2. Musyawarah (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
  3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110)
    Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.
  4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
  5. Keamanan (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
  6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).
Penulis berkeyakinan, apabila prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuah negara, tanpa melihat simbol atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam al-Qur'ân surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. 34:15).
Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.
Penutup
Al-Qur'ân maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.
Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'ân maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'ân seperti, musyawarah (syûrâ), keadilan ('adâlah), persamaan (musâwah), hak-hak asasi manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.
Buku Bacaan
'Imârah, Muhammad,
al-Islâm Wa Ushûl al-Hukm Lî 'Ali 'Abdur Râziq (beirut: Dâr al-Fikr, 1972)
Al-Qur'an al-Karim,
terj. Departemen Agama, RI, 2000
Effendy, Bahtiar,
Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998)
Jindan, Khalid Ibrahim,
Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)
Khan, Qamaruddin,
Political Concepts in the Qur'an (Lahore: Islamic Book Foundation, 1982)
______________,
Pemikiran politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1995)
Madjid, Nurcholis,
Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992)
Mahendra, Yusril Ihza,
"Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam" (kerja sama Mizan dan Missi, Januari-Maret 1994), No. 3.
Masdar, Umaruddin,
Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Nasution, Harun,
Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986)
Pulungan, J. Suyuthi,
Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
Rahman, Fazlur,
Islam (New Tork: The Chicago University Press, 1966)
Shiddiqi, Nourouzzaman,
Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996)
Sjadzali, Munawir,
Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991)
Surbakti, Ramlan,
Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992), 2.
Syamsuddin, M. Din,
"Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik Islam", ed. Abu Zahra dalam Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Thaba, Abdul Azîz,
Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)



ABOUT ME

Foto saya
ih sya itu orangnya baik..asyik deh law berteman sam q..tpi aga bawel dikit..tp tnang baik ko..he..

VISITORS

SHARE IT

Powered By Blogger

anez cute

My Popularity (by popuri.us)

visitorq

free counters

translate

Template by: Free Blog Templates