1. Kisah Nabi Musa Alaihi Salam
Ketika Bani Israil di Mesir ditindas oleh Fir'aun, Allah Swt. mengutus Nabi Musa untuk membebaskan mereka. Musa merupakan adik kandung Nabi Harun. Ia adalah keturunan Lawi, salah seorang putra Nabi Ya'qub yang hijrah ke Mesir. Di Mesir keturunan Nabi Ya'qub beranak pinak selama empat ratus tahun lebih. Jumlah mereka mencapai ratusan ribu orang. Awalnya mereka diterima oleh raja dari Dinasti Hyksos. Namun setelah dinasti ini berakhir, pemerintahan dikuasai oleh para raja yang menamakan dirinya Fir'aun. Bani Israil lalu diperlakukan sewenang-wenang oleh Fir'aun. Menurut sejarah, ketika Musa lahir, Fir'aun yang memerintah Mesir adalah Ramses II yang menganggap dirinya tuhan. Musa diutus Allah Swt. untuk mengingatkan Fir'aun dan membebaskan Bani Israil. Bersama Harun, Musa berdakwah kepada Fir'aun. Namun dakwah mereka ditolak. Bahkan, Musa dikejar untuk dibunuh. Tetapi Allah Swt. menyelamatkan Musa dan pengikutnya serta membinasakan Fir'aun.
Nabi Musa adalah seorang bayi yang dilahirkan dikalangan Bani Isra’il yang pada ketika itu dikuasai oleh Raja Fir’aun yang bersikap kejam dan zalim. Nabi Musa bin Imron bin Qahat bin Lawi bin Ya’qub adalah beribukan Yukabad. Setelah meningkat dewasa Nabi Musa telah beristerikan dengan puteri Nabi Syu’aib yaitu Shafura. Dalam perjalanan hidup Nabi Musa untuk menegakkan Islam dalam penyebaran risalah yang telah diutuskan oleh Allah kepadanya ia telah diketemukan beberapa orang nabi diantaranya ialah bapak mertuanya Nabi Syu’aib, Nabi Harun dan Nabi Khidhir.
Raja Fir’aun yang memerintah Mesir sekitar kelahirannya Nabi Musa, adalah seorang raja yang zalim, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Ia memerintah negaranya dengan kekerasan, penindasan dan melakukan sesuatu dengan sewenang-wenangnya. Rakyatnya hidup dalam ketakutan dan rasa tidak aman tentang jiwa dan harta benda mereka, terutama Bani Isra’il yang menjadi hamba kekejaman, kezaliman dan bartindak sewenang-wenangnya dari raja dan orang-orangnya. Mereka merasa tidak tentaram dan selalu dalam keadaan gelisah, walau pun berada dalam rumah mereka sendiri. Mereka tidak berani mengangkat kepala bila berhadapan dengan seorang hamba raja dan berdebar hati mereka karena ketakutan bila kedengaran suara pegawai-pegawai kerajaan lalu di sekitar rumah mereka, apalagi bunyi kasut mereka sudah terdengar di depan pintu.
Raja Fir’aun yang sedang mabuk kuasa yang tidak terbatas itu, bergelimpangan dalam kenikmatan dan kesenangan duniawi yang tiada taranya, bahkan mengumumkan dirinya sebagai tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya. Berabad-abad lamanya Mesir diperintah oleh raja-raja Fir'aun. Pemerintahan mereka dijalankan secara turun-temurun. Setiap raja yang memerintah dikenal zalim dan menindas rakyatnya, termasuk Bani Israil. Suatu saat, seorang ahli nujum istana menghadap Fir'aun. Ia memberitahukan hasil ramalannya atas mimpi Raja. Ia meramalkan bahwa seorang bayi laki- laki dari Bani Israil akan lahir dan setelah dewasa akan membinasakan kekuasaan Fir'aun. Mendengar hal itu, Fir'aun langsung memerintahkan untuk membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil di Mesir yang kelak akan menjadi musuh kerajaan dan bahkan akan membinasakannya.
Raja Fir’aun segera mengeluarkan perintah agar semua bayi lelaki yang dilahirkan di dalam lingkungan kerajaan Mesir dibunuh dan agar diadakan pengusutan yang teliti sehingga tiada seorang pun dari bayi lelaki, tanpa terkecuali, terhindar dari tindakan itu. Maka dilaksanakanlah perintah raja oleh para pengawal dan tentaranya. Setiap rumah dimasuki dan diselidiki dan setiap perempuan hamil menjadi perhatian mereka pada saat melahirkan bayinya.
Raja Fir’aun menjadi tenang kembali dan merasa aman tentang kekebalan kerajaannya setelah mendengar para anggota kerajaannya, bahwa wilayah kerajaannya telah menjadi bersih dan tidak seorang pun dari bayi laki-laki yang masih hidup. Ia tidak mengetahui bahwa kehendak Allah tidak dapat dibendung dan bahwa takdirnya bila sudah difirman “Kun” pasti akan wujud dan menjadi kenyataan “Fayakun”. Tidak sesuatu kekuasaan bagaimana pun besarnya dan kekuatan bagaimana hebatnya dapat menghalangi atau mengagalkannya.
Raja Fir’aun sesekali tidak terlintas dalam fikirannya yang kejam dan zalim itu bahwa kerajaannya yang megah, menurut apa yang telah tersirat dalam Lauhul Mahfudz, akan ditumbangkan oleh seorang bayi yang justru diasuh dan dibesarkan di dalam istananya sendiri akan diwarisi kelak oleh umat Bani Isra’il yang dimusuhi, dihina, ditindas dan disekat kebebasannya. Bayi asuhnya itu ialah laksana bunga mawar yang tumbuh di antara duri-duri yang tajam atau laksana fajar yang timbul menyingsing dari tengah kegedelapan yang mencekam.
Yukabad, isteri Imron bin Qahat bin Lawi bin Ya’qub sedang duduk seorang diri di salah satu sudut rumahnya menanti datangnya seorang bidan yang akan memberi pertolongan kepadanya melahirkan bayi dari dalam kandungannya itu. Bidan datang dan lahirlah bayi yang telah dikandungnya selama sembilan bulan dalam keadaan selamat, segar dan sihat afiat. Dengan lahirnya bayi itu, maka hilanglah rasa sakit yang luar biasa dirasai oleh setiap perempuan yang melahirkan namun setelah diketahui oleh Yukabad bahwa bayinya adalah lelaki maka ia merasa takut kembali. Ia merasa sedih dan khawatir bahwa bayinya yang sangat disayangi itu akan dibunuh oleh orang-orang Fir’aun. Ia mengharapkan agar bidan itu merahasiakan kelahiran bayi itu dari sesiapa pun. Bidan yang merasa simpati terhadap bayi yang lucu dan bagus itu serta merasa betapa sedih hati seorang ibu yang akan kehilangan bayi yang baru dilahirkan memberi kesanggupan dan berjanji akan merahasiakan kelahiran bayi itu.
Setelah bayi mencapai tiga bulan, Yukabad tidak merasa tenang dan selalu berada dalam keadaan cemas dan khawatir terhadap keselamatan bayinya. Allah memberi ilham kepadanya agar menyembunyikan bayinya di dalam sebuah peti yang tertutup rapat, kemudian membiarkan peti yang berisi bayinya itu terapung di atas sungai Nil. Yukabad tidak boleh bersedih dan cemas ke atas keselamatan bayinya karena Allah menjamin akan mengembalikan bayi itu kepadanya bahkan akan mengutuskannya sebagai salah seorang rasul.
Dengan bertawakkal kepada Allah dan kepercayaan penuh terhadap jaminan Illahi, mak dilepaskannya peti bayi oleh Yukabad, setelah ditutup rapat dan dicat dengan warna hitam, terapung dipermukaan air sungai Nil. Kakak Musa diperintahkan oleh ibunya untuk mengawasi dan mengikuti peti rahasia itu agar diketahui di mana ia berlabuh dan ditangan siapa akan jatuh peti yang mengandungi arti yang sangat besar bagi perjalanan sejarah umat manusia. Alangkah cemasnya hati kakak Musa, ketika melihat dari jauh bahwa peti yang diawasi itu, dijumpai oleh puteri raja yang kebetulan berada di tepi sungai Nil bersantai bersama beberapa dayangnya dan dibawanya masuk ke dalam istana dan diserahkan kepada ibunya, isteri Fir’aun. Yukabad yang segera diberitahu oleh anak perempuannya tentang nasib peti itu, menjadi kosonglah hatinya karena sedih dan cepat serta hampir saja membuka rahasia peti itu, andai kata Allah tidak meneguhkan hatinya dan menguatkan hanya kepada jaminan Allah yang telah diberikan kepadanya.
Raja Firaun ketika diberitahu oleh Asyah, isterinya, tentang bayi laki-laki yang ditemui di dalam peti yang terapung di atas permukaan sungai Nil, segera memerintahkan membunuh bayi itu seraya berkata kepada isterinya: “Aku khawatir bahwa inilah bayi yang diramalkan, yang akan menjadi musuh dan penyebab kesedihan kami dan akan membinasakan kerajaan kami yang besar ini.” Akan tetapi isteri Firaun yang sudah terlanjur menaruh simpati dan sayang terhadap bayi yang lucu dan manis itu, berkata kepada suaminya: “Janganlah bayi yang tidak berdosa ini dibunuh. Aku sayang kepadanya dan lebih baik kami ambil dia sebagai anak, kalau-kalau kelak ia akan berguna dan bermanfaat bagi kami. Hatiku sangat tertarik kepadanya dan ia akan menjadi kesayanganku dan kesayangmu”. Demikianlah jika Allah Yang Maha Kuasa menghendaki sesuatu maka dilincinkanlah jalan bagi terlaksananya takdir itu. Dan selamatlah nyawa putera Yukabad yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi rasul-Nya, menyampaikan amanat wahyu-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang sudah sesat.
Nama Musa telah diberikan kepada bayi itu kepada keluarga firaun, berarti air dan pohon (Mu=air, Sa=pohon) sesuai dengan tempat ditemukannya bayi itu. Karena Musa sering menangis, maka didatangkanlah kemudian keistana beberapa ibu untuk menjadi susuan Musa. Akan tetapi setiap ibu yang mencoba dan memberi air susunya ditolak oleh bayi yang enggan menyusu. Dalam keadaan isteri firaun lagi bingung memikirkan bayi pungutnya yang enggan menyusu dari sekian banyak ibu yang didatangkan keistana, datanglah kakak Musa yang enawarkan seorang ibu lain yang mungkin diterima oleh bayi itu.
Atas pertanyaan keluarga firaun, kalau-kalau ia mengenal keluarga bayi itu, berkatalah kaka musa: “Aku tidak mengenal siapakah keluarga dan ibu bayi ini. Hanya aku ingin menunjukan satu keluarga yang baik dan rajin mengasuh anak, kalau-kalau bayi itu dapat menerima air susu ibu ibu keluarga itu”. Anjuran kakak Musa diterima ole isteri firaun dan seketika itu jugalah dijemput ibu kandung Musa sebagai ibu susuan. Maka begitu bibir sang bayi menyusu air susu ibu kandungnya itu dengan sangat lahapnya. Kemudian diserahakan Musa kepada Yukabad ibunya, untuk mengasuh selama masa menyusu dengan imbalan upah yang besar. Maka dengan demikian terlakankanlah janji Allah kepada yukabad bahwa ia akan menerima kembali puteranya itu.
Setelah selesai masa menyusunya, dikembalikan Musa oleh ibunya ke istana, di mana ia di asuh, dibesar dan dididik sebagaimana anak-anak raja yang lain. Ia mengendarai kendaraan Fir’aun dan berpakaian sesuai dengan cara-cara Fir’aun berpakaian sehingga ia dikenal orang sebagai Musa bin Fir’aun.
Bacalah tentang isi cerita di atas di dalam Al-Quran dari ayat 4 hingga ayat 13 dalam surah Al-Qashash sebagai berikut :
“4. Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak lelaki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
5. Dan Kami hendak memberi kurnia kepada orang-orang yang tartindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadi mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).
6. Dan Kami akan teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman berserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu
.7. Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa,”susukanlah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, maka jatuhkan dia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah pula bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.
8. Maka pungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman berserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah
.9. Dan berkatalah isteri Fir’aun: “Ia (Musa) biji mata bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak,” sedang mereka tiada menyedari.
10. Dan menjadi kekosongan hait ibu Musa, seandainya Kami tidak teguhkan hatinya, spy ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).11. Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: “Ikutilah dia”. Maka kelihatan olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya.
12. Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukannya sebelum itu, maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepada kamu ahlul-bait yang akan memeliharakannya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”
13. Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi manusia kebanyakan tidak mengetahuinya.” ( Al-Qashash : 4 - 13 )
A. Membela Bani Israil
Musa dibesarkan di lingkungan kerajaan Fir'aun. Setelah dewasa, ia sering jalan-jalan keliling kota. Suatu hari, Musa berjumpa dengan dua orang lelaki yang sedang berkelahi. Seorang di antara mereka berasal dari Bani Israil, dan seorang lainnya berdarah Mesir, keturunan Fir'aun. Orang Israil itu meminta pertolongan kepada Musa. Musa bermaksud membela kaumnya dengan memukul orang golongan Fir'aun tersebut hingga mati. Namun setelah itu Musa menyesal dan memohon ampunan Allah atas kesalahannya (Q.28:14-19).
Pada hari kedua orang Israel berkelahi dengan orang qibti lain, maka orang Israel itu minta tolong kepada Nabi Musa, namun Musa tidak mau menolongnya. Ketika firaun mngetahui apa yang terjadi pada diri Musa, ia pun berkata: “Barang siapa melihatnya, hendaklah ia membunuhnya.” Maka keluarlah Musa dari mesir lantaran takut, hingga ia tiba di negeri Madyan.
B. Pelarian Ke Madyan
Berita pembunuhan yang dilakukan oleh Musa terhadap salah seorang rakyat Mesir sampai ke telinga Fir'aun. Ia segera menyiapkan bala tentaranya untuk menangkap dan membunuh Musa. Karena merasa terancam. Musa segera meninggalkan kota (Q.28:20-22). Selama delapan hari delapan malam, ia berjalan hingga tiba di Madyan, bagian selatan Palestina.
Disitu ia mendapati sebuah sumur dan manusia penuh sesak disekitarnya menunggu air untuk memeri kambing-kambing mereka. Musa mendapati diantara mereka dua oran perempuan yang terhalang untuk mendapat air bagi kambing-kambing mereka, sampai manusiamanusia itu bubar.
Musa berkata kepada dua perempuan itu:”Jangan Kuatir”. Kemudian diambilnya kambing mereka dan diberi minum. Ketika keduanya pulang kepada ayah mereka syuaib, mereka memberitahukan tentang apa yang dilakukan Musa.
C. Nabi Syu'aib A.S.
Musa tiba dengan selamat di Madyan. Di sana ia membantu dua orang wanita yang akan mengambil air untuk ternak mereka. Kedua wanita itu adalah putri Nabi Syu'aib. Kepada Nabi Syu'aib, mereka menceritakan bahwa Musa telah membantunya. Mendengar cerita kedua anaknya, Syu'aib ingin berkenalan dengan Musa. Salah seorang anak perempuannya diutus untuk memanggil Musa. Nabi Syu'aib menyambut Musa dengan senang dan berterima kasih atas kebaikan serta pertolongan Musa (Q.28:23-26).
D. Safura
Musa merasa senang tinggal di rumah Nabi Syu'aib. Suatu hari, Nabi Syu'aib menyampaikan keinginannya untuk menikahkan Musa dengan anak gadisnya, Safura. Musa terkejut dan gembira mendengar permintaan Nabi Syu'aib. Musa memenuhi permintaan itu dan mematuhi syarat yang diajukan mertuanya. Dalam Al-Qur'an, syarat itu berbunyi agar Musa bekerja membantu Nabi Syu'aib selama 8-10 tahun (Q.28:27-28).
E. Api Dari ALLAH SWT.
Musa bekerja untuk Nabi Syu'aib selama 10 tahun. Setelah selesai, Musa ingin bertemu dengan keluarganya di Mesir. Musa dan istrinya pergi berjalan menempuh padang pasir. Akhirnya, mereka tiba di Gunung Sinai. Ketika malam tiba, Musa dan istrinya ragu melanjutkan perjalanan karena gelap. Namun tiba-tiba, Musa melihat api di kejauhan dan ingin mengambilnya untuk memanaskan tubuh. Ia meminta istrinya tinggal sementara ia mengambil api itu. Musa berjalan ke tempat api, dan tiba di dekat sebatang pohon kayu. Ternyata api tersebut berasal dari Allah.
F. Dakwah Kepada Fir'aun
Setelah menerima wahyu Allah Swt., Musa dan Harun menemui Fir'aun. Sang raja terkejut melihat kedatangan mereka. Musa mulai mengingatkan bahwa Fir'aun bukan tuhan dan memintanya untuk membebaskan Bani Israil. Mendengar ucapan itu, Fir'aun marah dan bermaksud memenjarakannya. Kemudian Musa menunjukkan tanda kebenaran dakwahnya dengan memperlihatkan mukjizat yang diberikan Allah Swt. agar Fir'aun percaya kepada kenabiannya. Untuk menyangkal mukjizat Musa, Fir'aun mendatangkan para tukang sihir kerajaan. Namun, mereka tidak mampu mengalahkan Musa. Bahkan sebagian dari mereka menjadi beriman kepada Musa.
G. Bencana Dahsyat
Dakwah Musa tidak menyadarkan Fir'aun. Karena hinaan dan ejekan Fir'aun semakin menjadi-jadi, Musa berdoa agar Allah Swt. menurunkan bencana di Mesir. Kekeringan melanda Sungai Nil dan hasil pertanian tidak bisa dipanen. Allah Swt. juga mengirim badai topan serta hujan deras. Setelah banjir, berbagai penyakit menyerang. Binatang ternak binasa. Saat itulah, orang- orang mesir berjanji, bahwa mereka akan beriman setelah bebas dari bencana. Fir'aun sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Namun setelah bencana itu berhenti, Fir'aun kembali menunjukkan keangkuhannya (Q.7:130-135). Ia bahkan ingin menghabisi Musa dan Bani Israil.
H. Meninggalkan Mesir
Musa dan pengikutnya meninggalkan Mesir pada malam hari. Tatkala fajar terbit, mereka sampai di tepi Laut Merah. Mereka kebingungan karena Fir'aun dan pasukannya mengejar mereka. Musa pun memohon keselamatan kepada Allah Swt. Allah Swt. lalu mewahyukan agar Musa memukulkan tongkatnya ke laut. Atas kehendak Allah Swt., laut itu terbelah menjadi dua.
I. Fir'aun Tenggelam
Atas perintah Allah Swt., Musa memukulkan tongkatnya ke laut. Laut pun membelah dua sehingga terbentang jalan bagi Musa dan pengikutnya untuk menyeberang. Fir'aun dan tentaranya terus mengejar. Ketika Musa dan pengikutnya telah sampai di seberang, Fir'aun dan tentaranya masih berada di tengah laut. Dengan kehendak Allah Swt., laut pun menutup kembali sehingga Fir'aun dan tentaranya tenggelam.
J. TAURAT
Setelah Fir'aun dan tentaranya tenggelam, Musa pergi ke Gunung Sinai. Ia meninggalkan kaumnya dan menyerahkan penjagaan mereka kepada Harun. Di sana Musa berpuasa selama 30 hari. Puasanya kemudian disempurnakan menjadi 40 hari. Dalam keadaan suci itu, Musa mendengar firman Allah Swt. secara langsung. Ia lalu dikaruniai kitab Taurat, yang berisi nilai-nilai dan pedoman hidup bagi umatnya (Q.7:142-145).
K. Nabi Khidir A.S.
Suatu ketika, Musa diperintah Allah Swt. untuk mencari orang yang lebih pintar darinya. Bersama muridnya, Yusya bin Nun, Musa pergi dan bertemu dengan Nabi Khidir. Kepada Nabi Khidir, Musa meminta untuk belajar darinya serta melakukan perjalanan bersamanya. Namun sebelum memulai perjalanan, Nabi Khidir melarang Musa untuk bertanya tentang setiap perbuatannya. Syarat itu dipenuhi oleh Musa. Di tengah perjalanan, Nabi Khidir melubangi kapal, membunuh seorang anak dan memperbaiki rumah yang hampir rusak. Setiap perbuatan Nabi Khidir memancing rasa ingin tahu Musa. Musa pun selalu melanggar janjinya. Di akhir perjalanan mereka, barulah Nabi Khidir menjelaskan setiap perbuatannya (Q.18:60-82).
L. Samiri
Bani Israil gelisah selama Musa ke Gunung Sinai. Mereka lalu membuat patung anak sapi untuk disembah. Patung anak sapi itu diberi nama Samiri, sesuai dengan nama pembuatnya. Musa terkejut ketika kembali dari gunung dan melihat perbuatan kaumnya. Ia lalu mengajak 70 orang dari mereka untuk bertobat di Gunung Sinai (Q.7:148-155).
2. Objek Dakwah Nabi Musa Alaihi Salam.
Setahu saya, meski Nabi Ya'qub dan Nabi Musa sama-sama tinggal Mesir,
tapi Nabi Ya'qub dan Nabi Musa hidup pada kerajaan yang berbeda, dan
tentu saja pada waktu yang berbeda. Nabi Musa memang hidup pada dinasti Fir'aun. Akan tetapi, Nabi Ya'qub (danjuga Nabi Yusuf) tidak hidup pada dinasti Fir'aun. Mereka (Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf) hidup pada kerajaan lain, yang juga berada di Mesir. Sebagian orang mengatakan bahwa kerajaan itu adalah kerajaan Hyksos, yang merupakan sebuah kerajaan dari benua Asia yang pernah menginvasi dinasti Fir'aun. Singkatnya, dinasti Fir'aun pernah berjaya di Mesir. Setelah itu mereka melemah.
tapi Nabi Ya'qub dan Nabi Musa hidup pada kerajaan yang berbeda, dan
tentu saja pada waktu yang berbeda. Nabi Musa memang hidup pada dinasti Fir'aun. Akan tetapi, Nabi Ya'qub (danjuga Nabi Yusuf) tidak hidup pada dinasti Fir'aun. Mereka (Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf) hidup pada kerajaan lain, yang juga berada di Mesir. Sebagian orang mengatakan bahwa kerajaan itu adalah kerajaan Hyksos, yang merupakan sebuah kerajaan dari benua Asia yang pernah menginvasi dinasti Fir'aun. Singkatnya, dinasti Fir'aun pernah berjaya di Mesir. Setelah itu mereka melemah.
Di saat inilah kerajaan Hyksos mengambil kekuasaan. Dan, kalaupun ada, mungkin terjadi peperangan antara dinasti Fir'aun melawan kerajaan Hyksos ini, tentunya dengan hasil akhir berupa kemenangan di pihak Hyksos. Lalu, di saat kerajaan Hyksos ini berjaya, datanglah Nabi Yusuf ke Mesir. Lalu setelah beliau menjadi menteri di kerajaan Hyksos, akhirnya beliau membawa ayahnya (yaitu nabi Ya'qub as) dan juga saudara-saudaranya (yaitu keluarga bani Israel) ke Mesir. Dan karena Nabi Yusuf as adalah seorang menteri yang dihormati, tentu saja keluarga bani Israel juga menjadi kelompok yang dihormati di Mesir.
Al-Qur'an merekam peristiwa ini dalam banyak ayat, salah satunya
adalah ayat dibawah ini. Penting untuk dicatat bahwa ketika menjelaskan tentang kisah Nabi Yusuf as, Al-Qur'an menyebut penguasa Mesir saat itu dengan sebutan RAJA (dan bukan Fir'aun). "RAJA berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. "Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi."" (QS. Yusuf, surat 12, ayat 43)
adalah ayat dibawah ini. Penting untuk dicatat bahwa ketika menjelaskan tentang kisah Nabi Yusuf as, Al-Qur'an menyebut penguasa Mesir saat itu dengan sebutan RAJA (dan bukan Fir'aun). "RAJA berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. "Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi."" (QS. Yusuf, surat 12, ayat 43)
Sayang sekali, ternyata rentang waktu kekuasaan kerajaan Hyksos di
Mesir sangat pendek. Dalam waktu hanya sekitar 100 tahun sejak
kejatuhan dinasti Fir'aun, ternyata keturunan dinasti Fir'aun berhasil mengumpulkan kekuatan mereka dan kemudian bangkit lagi untuk memerangi kerajaan Hyksos. Hasil akhir dari peperangan kali ini adalah kalahnya kerajaan Hyksos, dan mereka terpaksa harus mundur (atau diusir?) dari tanah Mesir, dan kembali ke tanah asal mereka di benua Asia.
Mesir sangat pendek. Dalam waktu hanya sekitar 100 tahun sejak
kejatuhan dinasti Fir'aun, ternyata keturunan dinasti Fir'aun berhasil mengumpulkan kekuatan mereka dan kemudian bangkit lagi untuk memerangi kerajaan Hyksos. Hasil akhir dari peperangan kali ini adalah kalahnya kerajaan Hyksos, dan mereka terpaksa harus mundur (atau diusir?) dari tanah Mesir, dan kembali ke tanah asal mereka di benua Asia.
Saat itu, setelah orang-orang Hyksos kalah, maka yang tertinggal di Mesir hanyalah orang-orang dari dinasti Fir'aun, dan tentu saja, keluarga bani Israel itu sendiri. Bedanya, karena keluarga bani Israel adalah "keluarga pejabat Hyksos", maka tentu saja keluarga bani Israel adalah orang-orang yang "tidak diharapkan keberadaannya di Mesir". Maka, perlakuan dari pihak Fir'aun terhadap bani Israel adalah perlakuan yang menindas. Orang-orang dari bani Israel dijadikan budak. Mereka diperjualbelikan, dan dipaksa untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak manusiawi.
Yang menarik adalah, ternyata Fir'aun percaya pada berita-berita yang
mengatakan bahwa bani Israel akan kembali jaya. Oleh karena itu, Fir'aun lalu mengambil inisiatif untuk membunuhi seluruh bayi dari bani Israel. Akan tetapi, kemudian muncul satu kekhawatiran, yaitu bila seluruh bayi dari bani Israel dibunuh, maka akan habislah budak-budak di Mesir, yang ujung-ujungnya sendiri justru akan
mempersulit dinasti Fir'aun sendiri. Sebagai jalan keluar, akhirnya
Fir'aun mengambil satu solusi yang "cukup manusiawi", yaitu dengan
tidak membunuh seluruh bayi dari bani Israel. Detilnya, bayi yang lahir dalam satu tahun tidak dibunuh, dan bayi yang lahir pada tahun berikutnya akan dibunuh semua. Demikian seterusnya, setiap selang waktu satu tahun, maka bayi-bayi bani Israel yang lahir pada tahun "pembunuhan" akan dibunuh. Pada masa inilah.
mengatakan bahwa bani Israel akan kembali jaya. Oleh karena itu, Fir'aun lalu mengambil inisiatif untuk membunuhi seluruh bayi dari bani Israel. Akan tetapi, kemudian muncul satu kekhawatiran, yaitu bila seluruh bayi dari bani Israel dibunuh, maka akan habislah budak-budak di Mesir, yang ujung-ujungnya sendiri justru akan
mempersulit dinasti Fir'aun sendiri. Sebagai jalan keluar, akhirnya
Fir'aun mengambil satu solusi yang "cukup manusiawi", yaitu dengan
tidak membunuh seluruh bayi dari bani Israel. Detilnya, bayi yang lahir dalam satu tahun tidak dibunuh, dan bayi yang lahir pada tahun berikutnya akan dibunuh semua. Demikian seterusnya, setiap selang waktu satu tahun, maka bayi-bayi bani Israel yang lahir pada tahun "pembunuhan" akan dibunuh. Pada masa inilah.
Nabi Musa dan Nabi Harun lahir. Bedanya, Nabi Harun lahir pada tahun
dimana bayi-bayi bani Israel tidak dibunuh, sementara nabi Musa lahir pada tahun "pembunuhan", yaitu tahun dimana bayi-bayi bani Israel harus dibunuh. Dan sampai di sini, mungkin kita bisa mengerti mengapa sampai terjadi kisah "Nabi Musa yang dilempar ke sungai" oleh ibunya sendiri. Tentunya, dengan harapan agar tidak dibunuh oleh para tentara Fir'aun.
dimana bayi-bayi bani Israel tidak dibunuh, sementara nabi Musa lahir pada tahun "pembunuhan", yaitu tahun dimana bayi-bayi bani Israel harus dibunuh. Dan sampai di sini, mungkin kita bisa mengerti mengapa sampai terjadi kisah "Nabi Musa yang dilempar ke sungai" oleh ibunya sendiri. Tentunya, dengan harapan agar tidak dibunuh oleh para tentara Fir'aun.
Kisah tentang Nabi Musa (dan Fir'aun) ini juga direkam di banyak ayat
Al-Qur'an, salah satunya adalah di surat Al-Qashash di bawah. Penting untuk dicatat bahwa ketika menjelaskan tentang kisah Nabi Musa ini, Al-Qur'an menyebut penguasa Mesir saat itu dengan sebutan FIR'AUN (dan bukan Raja).
Al-Qur'an, salah satunya adalah di surat Al-Qashash di bawah. Penting untuk dicatat bahwa ketika menjelaskan tentang kisah Nabi Musa ini, Al-Qur'an menyebut penguasa Mesir saat itu dengan sebutan FIR'AUN (dan bukan Raja).
"Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan FIR'AUN dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya FIR'AUN telah
berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash, surat 28, ayat 3-4)
berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qashash, surat 28, ayat 3-4)
3. Metode Dakwah yang di Gunakan Nabi Musa Alaihi Salam.
Jadi, selama hal itu tidak bertentangan dalam kaca mata syari’at dan membawa manfaat yang banyak maka metode itu boleh saja diterapkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun ketika mengutus para Nabi dan rasul-Nya kepada suatu kaum, maka Dia membekali para utusan-Nya dengan mukjizat yang sesuai dengan keadaan kaum di mana para utusan tersebut di utus.
Misalnya Nabi Musa alaihi salam diberi mukjizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular, sesuai dengan keadaan kaum pada zaman dimana praktik sihir adalah sesuatu yang masyhur
Allah memberikan ganjaran yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka yang sabar dan lulus dalam ujian kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan yang diberikan Allah hanya yang mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan memperoleh ganjaran yang hebat.
Di situlah letak hikmahnya yakni bahwa seorang da’i harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan, azam yang lemah dan pengorbanan yang sedikit.
Ketika Allah menyuruh Nabi Musa as mengikuti petunjuk-Nya, tersirat di dalamnya sebuah pesan abadi, pelajaran yang mahal dan kesan yang mendalam: “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang teguh kepada perintah-perintahnya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasiq”.(QS. Al-A’raaf (7):145)
Demikian juga perintah-Nya terhadap Yahya, dalam surat Maryam ayat 12: Hudzil kitaab bi quwwah (Ambil kitab ini dengan quwwah). Yahya juga diperintahkan oleh Allah untuk mengemban amanah-Nya dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan). Jiddiyah ini juga nampak pada diri Ulul Azmi (lima orang Nabi yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad yang dianggap memiliki azam terkuat).
Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.
Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan kita : Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian.
Hendaknya kita melihat bagaimana kisah kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Usia mereka hanya sekitar 60-an tahun. Satu rentang usia yang tidak terlalu panjang, namun sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai segi dan sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militernya, dari visi kenegarawanannya, dari segi sosok kebapakannya dan lain sebagainya. Seharusnyalah kisah-kisah tersebut menjadi ibrah bagi kita dan semakin meneguhkan hati kita. Seperti digambarkan dalam (QS. 11:120), orang-orang yang beristiqomah di jalan Allah akan mendapatkan buah yang pasti berupa keteguhan hati. Bila kita tidak kunjung dapat menarik ibrah dan tidak semakin bertambah teguh, besar kemungkinannya ada yang salah dalam diri kita. Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan bukannya kemiskinan harta.
Kita dapat melihatnya dalam kisah Nabi Musa as. Kita melihat bagaimana kesabaran, keuletan, ketangguhan dan kedekatan hubungannya dengan Allah membuat Nabi Musa as berhasil membawa umatnya terbebas dari belenggu tirani dan kejahatan Firaun.
Berkat do’a Nabi Musa as dan pertolongan Allah melalui cara penyelamatan yang spektakuler, selamatlah Nabi Musa dan para pengikutnya menyeberangi Laut Merah yang dengan izin Allah terbelah menyerupai jalan dan tenggelamlah Fir’aun beserta bala tentaranya.
Namun apa yang terjadi? Sesampainya di seberang dan melihat suatu kaum yang tengah menyembah berhala, mereka malah meminta dibuatkan berhala yang serupa untuk disembah. Padahal sewajarnya mereka yang telah lama menderita di bawah kezaliman Firaun dan kemudian diselamatkan Allah, tentunya merasa sangat bersyukur kepada Allah dan berusaha mengabdi kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Kurangnya iman, pemahaman dan kesungguh-sungguhan membuat mereka terjerumus kepada kejahiliyahan.
Sekali lagi marilah kita menengok kekayaan sejarah dan mencoba bercermin pada sejarah. Kembali kita akan menarik ibrah dari kisah Nabi Musa as dan kaumnya.
Dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 20-26 :
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu, ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain”.
“Hai, kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.
“Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari negri itu. Jika mereka keluar dari negri itu, pasti kami akan memasukinya”.
“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: �gSerbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
“Mereka berkata: “Hai Musa kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.
“Berkata Musa: Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasiq itu.
“Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasiq itu”.
Rangkaian ayat-ayat tersebut memberikan pelajaran yang mahal dan sangat berharga bagi kita, yakni bahwa manusia adalah anak lingkungannya. Ia juga makhluk kebiasaan yang sangat terpengaruh oleh lingkungannya dan perubahan besar baru akan terjadi jika mereka mau berusaha seperti tertera dalam QS. Ar-Ra’du (13):11, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka berusaha merubahnya sendiri.”
Nabi Musa as adalah pemimpin yang dipilihkan Allah untuk mereka, seharusnyalah mereka tsiqqah pada Nabi Musa. Apalagi telah terbukti ketika mereka berputus asa dari pengejaran dan pengepungan Fir’aun beserta bala tentaranya yang terkenal ganas, Allah SWT berkenan mengijabahi do’a dan keyakinan Nabi Musa as sehingga menjawab segala kecemasan, keraguan dan kegalauan mereka seperti tercantum dalam QS. Asy-Syu’ara (26):61-62, “Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku bersamaku, kelak Dia pasti akan memberi petunjuk kepadaku”.
Semestinya kaum Nabi Musa melihat dan mau menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai Allah pasti akan dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena jaminan kesuksesan yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti akan bersama al-haq dan para pendukung kebenaran. Namun kaum Nabi Musa hanya melihat laut, musuh dan kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad untuk mengatasi semua itu sambil di sisi lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal itu sungguh merupakan opium, candu yang berbahaya.
Mereka menginginkan hasil tanpa kerja keras dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah “qaumun jabbarun” yang rendah, santai dan materialistik. Seharusnya mereka melihat bagaimana kesudahan nasib Fir’aun yang dikaramkan Allah di laut Merah.
Seandainya mereka yakin akan pertolongan Allah dan yakin akan dimenangkan Allah, mereka tentu tsiqqah pada kepemimpinan Nabi Musa dan yakin pula bahwa mereka dijamin Allah akan memasuki Palestina dengan selamat. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam QS. 47:7, In tanshurullah yanshurkum wayutsabbit bihil aqdaam (Jika engkau menolong Allah, Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu).
Hendaknya jangan sampai kita seperti Bani Israil yang bukannya tsiqqah dan taat kepada Nabi-Nya, mereka dengan segala kedegilannya malah menyuruh Nabi Musa as untuk berjuang sendiri. “Pergilah engkau dengan Tuhanmu”. Hal itu sungguh merupakan kerendahan akhlak dan militansi, sehingga Allah mengharamkan bagi mereka untuk memasuki negri itu. Maka selama 40 tahun mereka berputar-putar tanpa pernah bisa memasuki negri itu.
Namun demikian, Allah yang Rahman dan Rahim tetap memberi mereka rizqi berupa ghomama, manna dan salwa, padahal mereka dalam kondisi sedang dihukum. Tetapi tetap saja kedegilan mereka tampak dengan nyata ketika dengan tidak tahu dirinya mereka mengatakan kepada Nabi Musa tidak tahan bila hanya mendapat satu jenis makanan.
Orientasi keduniawian yang begitu dominan pada diri mereka membuat mereka begitu kurang ajar dan tidak beradab dalam bersikap terhadap pemimpin. Mereka berkata: Udfuulanaa robbaka (Mintakan bagi kami pada Tuhanmu). Seyogyanya mereka berkata: Pimpinlah kami untuk berdo’a pada Tuhan kita.
Kebodohan seperti itu pun kini sudah mentradisi di masyarakat. Banyak keluarga yang berstatus Muslim, tidak pernah ke masjid tapi mampu membayar sehingga banyak orang di masjid yang menyalatkan jenazah salah seorang keluarga mereka, sementara mereka duduk-duduk atau berdiri menonton saja.
Itulah ibrah yang harus dijadikan pusat perhatian para da’i. Apalagi berkorban di jalan Allah adalah sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga dan waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.
5. Korelasinya Zaman Nabi Musa Alaihi Salam dengan Zaman Sekarang
Dizaman Nabi Musa AS yaitu ada raja yang terkenal sampai sekarang dan di abadikan hingga sekarang yaitu berupa Mummi di Mesir. Itu menandakan supaya kita mengambil pelajaran dari kisah Nabi Musa as ketika menghadapi Firaun. Firaun adalah seorang raja Mesir Kuno yang kejam yang menindas kepada rakyatnya dan tidak ada balas kasihan sedikitpun, dan ketika itu tidak ada bayi laki-laki yang tersisa karena dibunuhnya, ditakutkan akan mengancurkan kekuasannya. Dan yang lebih menakjubkan lagi dia mengaku bahwa dirinya tuhan yang patut di sembah dan yang telah menghidupi manusia pada zaman itu.
Korelasinya pada zaman sekarang dengan zamannya Nabi Musa yaitu sangat mirip sekali, tetapi sekarang belum ada yang berani dan mengaku tuhan. Tapi zaman sekarang kebanyakan mengaku Nabi, terutama di Indonesia banyak sekali yang mengaku nabi. dan berapa banyak lagi di Indonesia yang akan mengaku Nabi sampai sekarang. Itu sama sombong dan takabur seperti firaun yang telah mengaku tuhan dan menindas rakyatnya sendiri. Sekarang juga banyak, tidak jauh beda seperti korupsi itu sama saja mengambil hak orang lain, Cuma bedanya kalau dulu pada zaman mesir kuno dan sekarang zaman modern.
Tetapi menurut saya, memang sekarang sudah modern, tetapi modern jahiliyah. Yaitu kembali seperti dulu. Kita tidak merasa bahwa kita kembali kepada zaman jahilliyah. Dan lebih-lebih dari zaman dulu. Pada zaman firaun, banyak bayi laki-laki yang baru lahir langsung dibunuh dan yang tidak beriman kepadanya dibunuh atau disiksa. Mungkin itu sangat kejam. Tetapi lebih kejam dari pada sekarang. Kita lihat realita sekarang, pembunuhan masal dimana-mana, bayi yang didalam kandungan yang belum lahir sudah di bunuh duluan, anak membunuh orang tua, orangtuanya membunuh anaknya, dan membunuh secara mutilasi. Bukankah itu sangat kejam?...itulah realita sekarang.
REFERENSI
Zaid Husein Al-hamid. 1995. Kisah 25 Nabi dan Rosul. Pustaka Amani: Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar