MUNAWIR SJADZALI DAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Masnun Tahir
A. Pendahuluan
Ketika pertama sekali pada akhir 80-an, Munawir Sjadzali melontarkan isu tentang reaktulisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan gugatan yang cukup fundamental pada nas}s}-nas}s} syari’ah. Pada saat itulah ia mulai memasuki persoalan dilematis antara syari’ah yang bersifat holistik dan realitas ke-Indonesiaan yang bersifat domestik.
Namun di luar dari pengemukaan ide tersebut, ia telah mencoba membangun karakter baru syari’ah, yang dalam lontaran politik, dikenal dengan istilah “membangun peradaban dan karakter masyarakat yang khas Indonesia (nation state and character building), yang pluralistik dan anti diskriminasi berdasarkan apapun”. Persamaan equalitas pria dan wanita dalam pandangan berbangsa, seperti terumuskan dalam UUD 1945, tidak hanya dalam urusan waris, tetapi hampir pada seluruh aspek kehidupan. Sementara itu dalam tafsir al-Qur’an dan al-Hadis dilema tersebut hampir terjadi di setiap aspek kehidupan. Dilema yang sama juga terjadi pada pergaulan antar umat beragama, antara muslim dan non muslim. UUD 1945 anti terhadap diskriminasi berdasarkan gender, agama dan lainnya, sedangkan syari’ah memberlakukan sebaliknya.
Menghadapi realitas seperti demikian, umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua pilihan; antara menggunakan syari’ah yang ada secara fundamental, dengan konsekuensi umat Islam termarginalkan dalam pergaulan masyarakat modern yang berkembang dengan sangat kompleks, atau menyerahkan kepada hukum sekuler secara absolut tanpa bantahan, yang berarti meninggalkan doktrin al-Qur’an dan al-Hadis. Kemungkinan lain adalah menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sejalan dengan semangat perkembangan masyarakat, dengan tetap konsisten, tanpa mengubah identitas dasar Islam. Pilihan inilah yang kemudian didengungkan oleh beberapa pembaharu modern Islam termasuk Munawir Sjadzali.
Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya secara genial ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya.
B. ISI
1. Biografi Intelektual-Sosial Munawir Sadzali
Dalam rangka menyingkap lebih dalam misteri pemikiran seseorang, secara inherent pemaparan mengenai setting histories-nya menjadi keharusan. Amin Abdullah menggaris-bawahi bahwa lingkungan yang menjadi tempat seseorang dan masyarakat berada, ikut mempengaruhi proses aktualisasi norma-norma dalam kehidupan praksis-sosialnya. Keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praksis, sebenarnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan di manapun ia berada.) Jadi ide dan gagasan pemikiran seseorang pasti selalu based on historical problems. Oleh karena itu, terkait dengan Munawir Sjadzali sebagai representasi pemikir politik Islam, konteks lingkungannya cukup strategis untuk diabstraksikan.)
Munawir Sjadzali lahir di Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah tanggal 7 Nopember 1925. Ia adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadazali dan Tas’iyah. Dari segi ekonomi, keluarganya tergolong jauh dari sejahtera, tetapi dari segi agama keluarga ini adalah santri.
Pendidikan SD dan SMP di Solo (1937-1940); Sekolah Tinggi Islam Mamba’ul Ulum dan SMA di Solo (1943). Setelah menamatkan sekolah ini ia langsung menjadi guru di Ungaran, Semarang (1944-1945), Kursus Diplomatik dan Konsuler Deplu di Universitas Exeter, Inggris Raya (1953-1954); memperoleh M.A. dari Universitas Georgetown, AS (1959) mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. )
Selama masa perjuangan kemerdekaan ikut menyumbangkan tenaga antara lain sebagai penghubung antara markas pertempuran Jawa Tengah dengan badan-badan kelaskaran Islam. Ia adalah tokoh intelektual dan agama serta diplomat yang menjabat sebagai Menteri Agama sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
Karirnya di Departemen luar negeri dirintis sejak tahun 1950 ketika ditugaskan pada seksi Arab/Timur Tengah. Di luar negeri, ia menjalankan tugas berturut-turut di Washington DC (1956- 1959) dan Kolombo (1963-1968). Kemudian menjabat sebagai Minister/Wakil Kepala Perwakilan RI di London (1971-1974) dan selanjutnya diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-1980).
Adapaun tugas-tugasnya di dalam negeri adalah Kepala Biro Tata Usaha Departemen luar Negeri (1969-1970), Kepala Biro Umum Deplu (1975-1976), Staf Ahli Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Setelah itu diangkat menjadi Menteri Agama selama dua periode (1983-1993). Jabatan lain yang pernah dijalaninya adalah anggota DPA dan pernah menjadi ketua KOMNAS HAM> Republik Inddonesia.)
Pak Mun –begitu sapaan akrabnya- telah berpulang ke rahmatullah pada jumat 23 Juli 2004 di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Almarhum sempat dirawat di rumah sakit tersebut sejak 8 Juni 2004 akibat serangan stroke dan komplikasi beberapa penyakit. Almarhum Pak Munawir dikenal sebagai pendidik, diplomat, birokrat dan sekaligus pemikir. Sebagai pendidik ia dikenal dengan ide-ide cemerlangnya menyangkut perbaikan sistem pendidikan Islam dan masa depan mutu cendekiawan muslim. Saat ini doktor-doktor Islam lulusan Universitas di Barat ( MC Gill, UCLA) tidak akan mungkin melupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali, karena dialah yang memperjuangkan jalur studui ke barat tersebut ketika menjabat sebagai Menteri Agama. Proyek Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang dibuka sejak tahun 1988 dan kelak melahirkan banyak sekali bibit unggul, lahir dari pikirannya pula.)
Sebagai Menteri Agama, Munawir telah banyak mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada di bawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara. Rumusan yang diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream kebijakan negara yang ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk yang berhaluan keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat Menteri Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan umat Islam. Tercatat beberapa peraturan-peraturan yang nampaknya menguntungkan Umat Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan umat Islam dan Departemen Agama seperti UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.)
Selain sebagai diplomat ulung Munawir juga seorang intelektual yang cukup produktif, sehingga sangat banyak karya yang telah ditulisnya, sebagian ada yang sudah dibukukan dan sisanya masih terpencar. Di antara karya-karya Munawir yang berupa buku adalah:
- “Islam dan Tata Negara” merupakan pokok pikirannya tentang wacana politik Islam yang dikomparasikan dengan konteks pluralitas bangsa Indonesia, diterbitkan oleh UI Press.
- “Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa” yang berbicara mulai dari karakter dasar hukum Islam sampai Pancasila, diterbitkan oleh UI Press.
- “Ijtihad Kemanusiaan”. Buku ini mengupas segi inner dinamic Islam sebagai rah}matan li al-a>lami>n dalam perspektif kemanusiaan, diterbitkan oleh Paramadina.
- “Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini”. Buku ini berisi tentang tawaran Munawir tentang problematika yang dihadapi umat Islam dewasa ini.
- “Islam and Govermental System: Teaching, History and Reflections”, diterbitkan oleh INIS Jakarta.
- “Reaktualisasi Hukum Islam”. Tema ini tersebar di dalam berbagai buku, bahkan sebagai tema polemik dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia. Misalnya dalam buku “Ijtihad Dalam Sorotan”, “Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,” dan “Hukum Islam di Indonesia”.
Untuk menghargai jasa-jasa Pak Munawir dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia ada beberapa karya khusus didedikasikan kepadanya antara lain: Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali,) Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,) Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik,) Islam, Negara dan Civil Society,) dan Islam berbagai Perspektif.)
2. Pemikiran Munawir Tentang Hubungan Islam dan Negara
Jika diletakkan dalam konteks dunia Islam, perhatian Munawir terhadap masalah hubungan antara Islam versus negara, yang terutama terepleksikan dalam karya intelektualnya, sebenarnya sesuatu yang wajar. Di seluruh dunia Islam, hubungan Islam dan negara memang sudah lama menjadi satu persoalan pelik. Ungkapan inna al-Isla>m di>n wa dawlah yang populer di lingkungan kaum muslim sebenarnya lebih menunjuk pada manifestasi Islam dalam sejarah daripada sebuah rumusan konsepsional yang aplicable dalam realitas. Oleh karena itu, tepatnya sejak keruntuhan kolonialisame Barat pada pertengahan abad ke-20 negara-negara Islam seperti Turki, Mesir, Sudan atau Aljazair mengalami kesulitan dalam upaya membangun hubungan yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di sejumlah negara itu, posisi Islam versus negara senantiasa berada pada kutub-kutub pemikiran dan aksi politik yang saling tarik menarik dan antagonistik. Padahal pada saat yang sama di sejumlah negara itu Islam menduduki posisi penting, baik karena masa lalunya maupun karena Islam merupakan agama yang dianut mayoritas penduduknya. Oleh karena itulah kalangan pengamat muncul pertanyaan krusial: apakah Islam sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, dimana ide negara bangsa (nation-state) merupakan unsur terpentingnya.)
Dalam konteks Indonesia hubungan antara Islam dan negara memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar geneologisnya dapat ditarik ke belakang hingga akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika Islam -seperti dikatakan banyak kalangan- pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Dalam perjalanan sejarahnya yang kemudian inilah Islam, sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas-realitas sosio-kultural dan politik setempat, terlibat dalam politik. Pada kenyataannya malah dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya di Indonesia telah menjadi bagian integral dari sejarah politik negeri ini –meskipun ini tidak serta merta mengandaikan bahwa Islam secara inheren adalah agama politik, seperti dikatakan sejumlah pengamat.)
Sejak negara ini merdeka masalah tersebut telah menyulut ketegangan, permusuhan, bahkan konflik fisik antara keduanya. Dalam masa-masa formatif negara ini kaum muslim tidak hanya terus menerus menyuarakan aspirasinya untuk tidak hanya menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi juga menjadikan sistem politik Islam sebagai panduan dalam mengatur negara. Sejarah menjadi menarik berhubungan dengan munculnya beberapa komunitas yang berobsesi mewujudkan sebuah negara agama (DI TII/NII) berdasarkan syari’ah di abad modern ini. Perdebatan tentang keterlibatan Tuhan dan implikasi kebijakan-Nya menjadi ramai kembali, ketika pemberontakan atas nama agama meletus di sana sini waktu itu (Aceh, Jawa Barat, Sulawesi).) Meskipun usaha ini selalu berujung pada sebuah kegagalan, namun aspirasi ini tidak pernah berhenti dan secara konstan tetap menjadi wacana yang menarik. Setiap ada kesempatan dan peluang sekecil apapun aspirasi demikian kembali muncul ke permukaan. Hampir sepanjang abad, ada sebagian umat Islam, bercita-cita bahkan memberontak untuk sekedar sebuah wujud obsesi ini. Sejarah menjadi menarik bertitik taut dengan munculnya beberapa komunitas yang berobsesi mewujudkan sebuah negara (teokrasi) berdasarkan syari>’ah (integral) di abad modern ini misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).) Dalam konteks Indonesia, hampir setiap sidang yang diselenggarakan oleh DPR/MPR isu tentang usaha pemberlakukan Piagam Jakarta tetap menjadi isu yang menarik.
Setidaknya terdapat dua kesempatan dan peluang resmi yang digunakan kaum muslim untuk mewujudkan aspirasi politiknya. Pertama, pada saat berlangsungnya diskusi mengenai dasar negara pada tahun 1945. Pada saat ini wakil-wakil Islam mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi atau agama negara. Kedua, pada dekade 1950-an dalam sidang-sidang konstituante yang memberi peluang apada setiap kelompok untuk mendiskusikan kembali konstruk ideologi dan undang-undang dasar. Bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi pada kesempatan pertama, kesempatan kedua ini menyajikan perdebatan lebih luas mengenai pentingnya ideologi Islam dan konsepsi sistem politik Islam dalam negara Indonesia.)
Kerasnya sikap kaum muslim dalam memperjuangkan aspirasi politik ternyata membawa implikasi negatif –jika tidak boleh dikatakan merugikan- masyarakat Islam sendiri, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Di kalangan pemerintah tidak hanya muncul kecurigaan terhadap kaum muslim, tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi demikian pada gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit pemikir dan aktivis politik Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berkembang rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara.
Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai Menteri Agama. Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompok-kelompok Islam lama yang masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara a priori menolak Pancasila sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru yang tidak lagi memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya malah bersemboyan “Islam Yes, Partai Islam No”; dan kalangan ormas-ormas Islam yang lain masih bersikap menunggu.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat langsung dalam organisasi-organisasi Islam,Munawir mengakui dapat sepenuhnya mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini, ia dapat berpikir dan menganalisis secara “objektif” perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. )
Problematika hubungan Islam dan negara di anah air sebenarnya setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante pasca kemerdekaan (akhir tahun 1950-an) , masalah ini meruncing dan tidak pernah terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang non teokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya.
Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu:
Pertama, paradigma integralistik. Dalam konsep ini agama dan negara menyatu (integral). Agama Islam dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah negara (di>n wa dawlah). Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (devine sovereignity) karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.)
Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Hanya saja dalam term politik Syi’ah, untuk menyebut negara (ad-dawlah) diganti dengan istilah ima>mah (kepemimpinan). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyeleggarakan “kedaulatan Tuhan”, negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis, salah satu wacana yang dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (syari’ah).
Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara agama, di mana praktek ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam di>n wa dawlah. Sumber hukum positipnya adalah sumber hukum agama. ) Selain kelompok Syi’ah, pendukung paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Sekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana Al-Maududi. )
Kedua, Paradigma Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika. Paradigma simbiotik ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi dalam bukunya al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepemimpinan negara (ima>mah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (hara>s\ah al-di>n wa al-dunya>). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.)
Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti disyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan atau kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dalam menyelesaikan persoalan politik ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Pemikir-pemikir lain juga berpendapat demikian adalah al-Ghazali (w. 1111) dalam karyanya Nas}iha>t al-Mulk, Kimiya-yi al-Sa’a>da>t dan al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d.)
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama daan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm, Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan Khulafa>’ al-Ra>syidi>n, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. Ali Abd Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok pandangannya bahwa:
Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.)
Pandangan Raziq ini tentu saja menyulut kontroversial bahkan hingga sekarang. Rashid Ridha merasa gerah dengan pikiran Raziq sehingga menulis buku “al-Khila>fah aw al-Ima>mah al-Uz}ma>” dan “Yusr al-Isla>m wa Us}u>l al-Tasyri>’ al-A<m”></m”>. Munculnya karya Khalid Muhammad Khalid “Min Huna> Nabda’”, karya al-Gazali “Min Huna> Na’lam”, karya Sayyid Qutb “al-‘Ada>lah al-Ijtima>iyyah”, Muhammad ‘Ima>rah “al-Isla>m Wa Us}u>l al-Ahka>m Li ‘Ali> ‘Abd al-Razi>q”, semuanya merupakan diskusi lebih lanjut tentang perbedaan pendapat mengenai Islam versus negara.) Tokoh lain yang mengikuti pendapat ini adalah Thaha Husein.)
Namun yang menarik adalah hasil penelitiannya Muhammad Qasim Zaman di mana setelah melacak kembali data-data sejarah awal Islam akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa “tidak ada bukti sejarah yang kuat yang mengindikasikan adanya pemisahan agama dari politik dalam sejarah Islam”.)
Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang akhirnya ia berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya bertanggungjawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik.)
Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam bidang-bidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam.)
Pandangan Munawir ini diperkuat oleh Ibrahim Hosen dengan mengatakan bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah termasuk Da>r al-Isla>m yang pemerintahannya wajib ditaati oleh warga negara RI yang beragama Islam, sejalan dengan firman Allah:
Alasan Hosen adalah bahwa di Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Umat Islam bukan saja dilindungi dan dijamin hak-haknya, akan tetapi juga diberi kebebasan berdasarkan undang-undang untuk mengamalkan ajaran agamanya, bahkan mengembangkan dan menyebarluaskannya. Lebih dari itu malah, pemerintah membantu dan ikut aktif mengembangkan, memajukan dan menyemarakkan syi’ar agama Islam.)
Alasan lain adalah bahwa dalam proses penyusunan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara serta isinya sesuai dengan teori dan konsepsi siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah dan tidak ada satu butirpun yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip keadilan juga tercermin di sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip umum pensyari’atan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut Ibrahim Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk kemaslahatan.)
Tokoh lain yang memperkuat pandangan politik Munawir ini adalah KH. Sahal Mahfud (kini Ketua MUI Pusat). Sahal berpandangan bahwa Islam dan politik mempunyai titik singgung yang erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekedar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.
Menurut Sahal dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan bernegara. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.)
Jadi dalam rumusan Sahal, Islam dipandang sebagai kekuatan integratif terhadap negara. Islam adalah faktor komplementer bagi komponen-komponen lain bukan sebagai faktor tandingan yang justru berpotensi menciptakan disintegrasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya sebagai faktor integratif, maka Islam harus difungsikan sebagai pendorong tumbuhnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.)
Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan inilah yang harus bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas politik. )
Dalam pemikiran politik Munawir Isu negara Islam itu sebenarnya sangat modern –artinya pada zaman nabi tidak pernah ada perdebatan apakah perlu negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep tentang negara, dan ada pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka wacana tentang negara Islam mulai lahir. Maka wacana negara –seperti Islam- sebenarnya berkaitan dengan perkembangan baru dunia Islam pasca-kolonial, bukan wacana berdasarkan syari’ah yang abadi dan tidak berubah. Tema melawan teokrasi ini biasanya dibicarakan dengan cara silent syari’ah.) Kunci utama dari pendukung tema ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut “mitologi negara Islam”, yaitu sebuah negara yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam (syari’ah) dan peleburan monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga mendesakkan dialog antar agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah masyarakat politik demokratis dan pluralistik.
Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir mengkaji gerakan Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari tarik menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di Indonesia tidaklah hadir secara spontan. Paling tidak ada empat hal yang melatarinya. Pertama, globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi komunikasi, seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan solidaritas umat Islam Global.
Kedua, Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya dalam bahasa agama.
Ketiga, “pengalaman” politik Indonesia di awal kemerdekaan, mengenai rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada “perampingan” laskar rakyat hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda dan Jepang sedangkan yang berasal dari “iniasiatif” rakyat seperti laskar di bawah komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya, kelompok yang tersingkirkan ini menjadi gerakan “pemberontak” yang mengusung negara Islam dan penegakan syariat Islam., karena sejak awal mereka memang menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah.
Keempat, adanya “pengalaman” penerapan syariat Islam di masa-masa kerajaan dahulu, seperti pernah termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam tahun 1835 yang dikeluarkan oleh Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh dan Padang-Minangkabau. Hal ini tentunya menjadi “ingatan “ yang tetap hidup dalam bawah sadar sosial masyarakat tertentu.
Keempat realitas ini tidak dilihat dalam kerangka “tradisionalis” yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki legitimasi historis dalam penerapan dan penegakan syariat Islam di Indonesia. Juga bukan dalam kerangka “liberalis” yang mengganggap bahwa “pengalaman” penerapan syariat Islam tidak memiliki akar historisnya di Indonesia.
Adapun yang menjadi dasar Pemikiran Politik Islam Munawir Sadzali adalah kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya perubahan-perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam. Menurut Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk merumuskan ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan hidup. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum (us}u>l al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawa>’id al-fiqh) akan menjaga agar proses penafsiran kembali itu tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan ulang statusnya, dan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu sendiri semula.)
Secara tidak disadari, proses reaktualiasasi itu telah menjadi alami dalam kehidupan kaum muslimin. Konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama kaum muslimin tetap pada pendirian untuk tidak “melangkahi” ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu merupakan upaya menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan, agar tidak kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka. Dalam jangka panjang, sikap ini akan mematangkan fungsi doktrin Islam dalam hidup mereka. Doktrin Islam, yang semula berarti kerangka hidup normatif dengan perwujudannya sendiri sebagai doktrin formal, lalu berubah menjadi etika masyarakat yang diserahkan sepenuhnya kepada pilihan-pilihan oleh warga masyarakat. Ia tidak berkembang menjadi hipokritas, karena pada dasarnya kemunafikan haruslah dilihat adanya pada kesengajaan untuk menggelapkan ajaran. Dalam proses reaktualisasi, yang terjadi adalah upaya penafsiran kembali dari satu orang ke lain orang di kalangan kaum muslimin, tanpa mengubah pandangan formal masyarakat muslim secara keseluruhan.
Terjadinya proses reaktualiasi, dan konsekuensinya perubahan ketentuan, hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukkan vitalitas nilai-nilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan perubahan atasnya, tetapi tetap tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan
Dasar lain yang menjadi landasan pemikiran politik Munawir adalah ijtihad. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung. Munawir memandang bahwa semua proses politik dalam sejarah, termasuk suksesi kekuasaan baik yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Ustman maupun Ali, sepenuhnya adalah inisiatif dan ijtihad manusia (para sahabat Nabi) belaka. Tak ada pentunjuk dari Nabi, apalagi dari Tuhan, tentang bagaimana seharusnya sebuah tata politik (polity) diciptakan. Dengan kata lain masalah politik sepenuhnya adalah rasional.
Menurut Munawir, ijtihad merupakan wujud kegiatan akal untuk berpikir, yang inherent dengan inti ajaran Islam sendiri (al-Qur’an maupun al-Hadis). Ijtihad bukan lahir dari proses sejarah sebagaimana terjadi di Barat, tetapi lebih dikarenakan oleh dorongan al-Qur’an dan al-Hadis agar manusia mempergunakan pikirannya dalam menghadapi problema kehidupan. Penggunaan ijtihad tidak terbatas wilayahnya, baik terhadap masalah-masalah yang tidak ada ketentuan dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun terhadap masalah-masalah yang sudah ada ketentuan dalam nas}s}, meskipun hadis Mu’adz dalam sejarahnya hanya menyebutkan pada masalah yang tidak terdeteksi dalam nas}s}.
Lebih lanjut Munawir mendorong tokoh-tokoh intelektual sesama muslim untuk melakukan ijtiha>d secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Menurut Munawir, dalam perkembangan sejarah doktrin Islam terdapat banyak penguasa Islam yang berani menempuh kebijakan hukum yang tidak sesuai secara harfiyah dengan bunyi ayat-ayat al-Qur’an dan atau ucapan maupun tindakan Nabi Muhammad SAW. Maka kalau kita berusaha memahami ajaran Islam dengan akal budi, dan tentu saja dengan rasa penuh tanggungjawab kepada Islam, kita bukanlah yang pertama dalam berijtihad. Munawir menyebutkan bahwa pelopor “penyimpangan” itu tidak lain ialah Umar bin Khattab sendiri. .)
Diilhami oleh keberanian dan kejujuran Umar, Munawir menyatakan bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang berani dan jujur dalam memberlakukan ajaran-ajaran Islam. Seraya meyakini dinamisme dan vitalitas doktrin Islam, ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan agenda-agenda reaktualisasi lewat ijtihad,untuk menjadikan Islam lebih sesuai dengan kekhasan lokal dan temporal Indonesia.
C. Penutup
Memang mengikuti alur pemikiran Munawir, dalam konteks pembaharuan ajaran Islam di Indonesia tampaknya akan menimbulkan sikap pro dan kontra. Gagasan kontroversial seperti ini agaknya secara sadar dimunculkan oleh Munawir agar tidak terjadi diskriminasi dan penomorduaan sekelompok anggota warga bangsa di bumi Indonesian yang plural ini. Sebab menurut keyakinannya diskriminasi apalagi hegemoni terhadap sekelompok warga secara telanjang jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi. Baginya demokrasi adalah salah satu nilai fundamental yang ada dalam Islam.
Yang penting menurut Munawir, adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Walhasil, visi Munawir tentang Indonesia masa depan adalah sebuah Indonesia yang demokratis, semua mempunyai hak yang sama dan tidak ada diskriminasi. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Munawir Sjadzali, “ Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: Paramadina, 1995).
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993).
Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997)
M. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 2001)
A.Maftuh Abegebriel dkk, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004).
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia; Studi Sosio Legal Atas Konstituante1956-1959, terj. Sylvia Tiwon (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985),
Akh. Minhaji, “Sekali Lagi: Kontroversi Negara Islam” dalam Majalah Asy-Syir’ah No. 6 (tahun 1999).
Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam; Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front (Jakarta: Darul Falah, 1999).
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam Kultural (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Bahtiar Effendy “Islam Dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta: Paramadina, 1998).
Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998)
Charles Kurzman (ed.),Liberal Islam: A Sourcebook (Oxford: Oxford University Press, 1998).
Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV (tahun 1993).
Iqbal Rauf Saimina (ed.) Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF Islam, Negara dan Civil Society , (Jakarta: Paramadina, 2005)
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis (Chicago: Chicago of University Press, 1988).
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001)
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000),
Muhammad Qasim Zaman, “The Caliph, The Ulama, and The law: Defining the Role and Function of the Caliph in the Early ‘Abbasidh Period,” Islamic Law and Society 4 (January 1997).
KONSEP NEGARA ISLAM MENURUT MUNAWIR SJADZALI
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.
Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'ân) dikatakan agama yang hanya mengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara.
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'ân yang diyakini sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah. Karya-karya intelektual muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis. Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian diikuti masalah hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan terabaikannya disiplin ilmu politik pada periode ini.
- Pertama, meskipun paham-paham Islam lahir dari sebuah pergolakan politik, implikasi dari lahirnya kelompok politik yang ada adalah munculnya persoalan teologis. Karena persoalan ini membutuhkan pemecahan yang serius pada saat itu.
- Kedua, hubungan intelektual dunia Islam dengan dunia luar, khususnya peradaban Yunani belum berjalan secara intens.
Namun tidak bisa disangkal walaupun diskursus konsep negara baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah tetapi ketegangan dan benturan internal mengenai pengganti kedudukan Nabi sebagai pemimpin merupakan awal sumber konflik berbias politik di kalangan umat Islam. Dalam pertemuan yang berlangsung di Saqîfah Banî Sa'âdah muncul tiga ide politik, yaitu:
Kembali ke Sistem Kabilah
Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Banî Khazraj dan kaum separatis (riddah).
Sistem Hak Warisan
Ide ini lahir dari kalangan Banî Hâsyim berdasarkan pemikiran dan kebiasaan orang Arab selatan. Tokoh terkemuka pendukukng ide ini ialah al-Abbâs, 'Alî, dan Zubair.
Ide Persatuan Melalui Permusyawaratan
Ide ini didukung kaum muhajirin, kecuali Banî Hâsyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'ân agar umat Islam tidak terpecah belah dan selalu bermusyawarah atas asas persatuan yang berkeadilan dalam memecahkan setiap persoalan.
Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah, mereka mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis, dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.
Di bawah pemerintahan 'Abbasiyah dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun keemasan dinasti itu. Berkat kelonggaran dan bahkan dukungan dari para penguasa waktu itu di mana kegiatan para ilmuwan dari berbagai disiplin amat melonjak. Dengan demikian, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Proses ini pada gilirannya menimbulkan masalah kenegaraan secara rasional dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam beserta gagasannya. Misalnya, Syihâb al-Dîn Ahmad Ibn Abî Râbi' kemudian disusul al-Farabi, al-Mâwardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah yang hidup setelah runtuhnya kekuasaan 'Abbasiyah di Baghdad, dan Ibn Khaldûn yang hidup pada abad XIV M. Mereka itu dapat dianggap sebagai eksponen yang mewakili pemikiran politik umat Islam pada zaman pertengahan.
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan politik dari enam pemikir di atas.
- Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain.
- Kedua, selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.
Jatuhnya Baghdad pada pertengahan abad XIII M yang menandai tamatnya dinasti 'Abbasiyah yang disebabkan faktor-faktor internal, yang kemudian disusul munculnya problem baru dari luar maka muncullah gerakan pembaharuan atau mungkin lebih tepat pemurnian kembali ajaran Islam dengan pengertian dasar dan sasaran yang tidak selalu sama antara satu gerakan dengan gerakan yang lain.
Juga dalam pandangan Munawir terdapat tiga hal yang melatarbelakangi pemikiran politik Islam kontemporer yang muncul setelah jatuhnya Baghdad atau pada waktu menjelang akhir abad XIX M.
- Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor internal yang berakibat munculnya gerakan pembaharuan dan pemurnian.
- Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau penjajahan negara Barat atas sebagian besar wilayah dunia Islam, dengan akibat rusaknya hubungan yang selama ini baik antara dunia Islam dan Barat, dan berkembangnya di kalangan umat Islam semangat permusuhan dan sikap anti Barat.
- Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu, teknologi, dan organisasi.
Para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan (purifikasi) ini dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu:
Kelompok Konservatif
Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî.
Kelompok Modernis
Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam. Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh.
Kelompok Liberal
Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.
Konsep Negara dalam al-Qur'ân
Para pemikir politik Islam abad pertengahan banyak mengadopsi pikiran Plato dan Aristoteles mengenai konsep terbentuknya negara. Mereka berangkat dari asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial. Seperti dikatakan al-Ghazalî, manusia itu tidak dapat hidup sendirian yang disebabkan oleh dua hal.
- Pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia, hal itu hanya mungkin melalui pergaulan antara laki-laki dan perempuan serta keluarga.
- Kedua, saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak.
Kebutuhan akan kerja sama untuk mengadakan segala yang diperlukan bersama akan berakibat timbulnya semacam pembagian tugas di antara anggota masyarakat, kemudian lahirlah kelompok petani, pekerja, dan sebagainya. Semua faktor ini memerlukan kerja sama yang baik antar sesamanya. Untuk itu diperlukan tempat tertentu, dan dari sinilah lahir suatu negara.
Dalam pandangan Ibn Taimiyah negara dan agama saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Juga dengan Ibn Khaldûn, organisasi kemasyarakatan suatu kemestian bagi manusia. Tanpa itu eksistensi mereka tidak akan sempurna, sebagaimana kehendak Allah menjadikan mereka sebagai khalîfah-Nya untuk memakmurkan bumi.
Dalam dunia Islam, ungkap Din Syamsuddin, secara umum kita menemukan tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara.
Paradigma pertama memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi politik atau negara, karenanya menurut paradigma ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.
Paradigma ini dianut kelompok Syi'ah, di mana pemikiran politiknya memandang bahwa negara (imâmah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi kenabian. Dalam pandangannya, legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi. Legitimasi politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan, dan hal ini hanya dimiliki para keturunan Nabi SAW.
Berbeda dengan pemikiran politik Sunni, kelompok ini menekankan ijma' (konsesus) dan bai'ah (penbaiatan) kepada kepala negara. Sementara Syi'ah menekankan wilâyah (kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan) dan ishmah (kesucian dari dosa) yang hanya dimiliki para keturunan Nabi yang berhak dan absah untuk menjadi kepala negara (imâm). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan "kedaulatan Tuhan" dalam perspektif syi'ah, negara bersifat teokrasi.
Menurut salah seorang kelompok ini, al-Maududî (w. 1979 M), syari'at tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik (negara). Syari'at adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Namun dia menolak istilah teokrasi, dan memilih istilah teodemokrasi, karena konsepsinya memang mengandung unsur demokrasi, yaitu adanya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.
Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.
Al-Mâwardî (w. 1058 M) menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut sebagai pembawa pandangan simbiosa agama dan negara adalah al-Ghazalî (w. 1111 M). Konsep far'i izâdî yang menjadi dasar simbiosa agama dan negara dalam pemikirannya mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra
Islam Iran. Konsep ini mengandung arti kualitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau kepala negara, seperti pengetahuan, keadilan, dan kearifan. Kualitas demikian diyakini bersumber pada Tuhan dan bersifat titisan. Peradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.
Pada tahun 1925 'Ali Abdur Raziq menerbitkan risalah yang berjudul al-Islâm Wa ushûl al-Hukm, dikatakan bahwa Islam (al-Qur'ân) tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk dengan khulafâur râsyidîn bahwa aktivitas mereka bukan sebuah sistem politik keagamaan, tetapi sebuah sistem duniawi. Islam tidak menetapkan rezim pemerintahan tertentu, tidak pula mendesak kepada kaum muslimin tentang sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah, tetapi Islam telah memberikan kebebasan mutlak untuk mengorganisasi negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi serta mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman. Bahkan ia menolak keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi pernah mendirikan suatu negara di Madinah. Menurutnya, Nabi adalah utusan Allah, bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.
Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu sendiri.
Dalam perspektif teologis dan historis untuk membuktikan bahwa tindakan politik Nabi seperti, melakukan perang, mengumpulkan jizyah (pajak), dan bahkan jihad tidak berhubungan dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Persoalan negara adalah persoalan duniawi yang telah diserahkan Tuhan kepada akal manusia untuk mengaturnya sesuai dengan arah kecendrungan akal dan pengetahuannya.
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat. Seorang pemikir muslim Mesir, Muhammad 'Imarah, sebagaimana dikutip Bahtiar Effendy mengatakan, Islam sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah digariskan agama.
Pendapat di atas ada kemiripan dengan 'Abduh, menurut 'Abduh Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalîfah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, 'Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis. Dengan demikian ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Menurut aliran pemikiran ini, istilah "daulah" yang berarti negara tidak ditemukan dalam al-Qur'ân. Meskipun terdapat berbagai ungkapan yang merujuk kepada kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan tersebut hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya terhadap mekanisme teori politik atau model tertentu dari sebuah negara.
Secara umum, polarisasi kecenderungan para pemikir politik Islam dalam memandang konsep negara dapat dikelompokkan kepada:
- Skripturalistik dan rasionalistik Kecenderungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran terhadap al-Qur'ân dan Hadis yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan kecenderungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual.
- Idealistik dan realistik Pendekatan pertama cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal. Kaum idealis cenderung menolak format kenegaraan yang ada, sementara kaum realis cenderung untuk menerimanya, karena orientasi mereka yang bersifat realistik terhadap kenyataan politik.
- Formalistik dan substantivistik Pendekatan formalistik cenderung mementingkan bentuk dari pada isi, yang pada gilirannya menampilkan konsep negara dan simbolisasi keagamaan. Sebaliknya, pendekatan substantivistik cenderung menekankan isi dari pada bentuk. Kelompok ini tidak mempersoalkan bagaimana bentuk dan format sebuah negara, tetapi lebih memusatkan perhatian pada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama.
Sebenarnya masalah politik atau pengaturan negara termasuk urusan duniawi yang bersifat umum. Panduan al-Qur'ân juga sunnah bersifat umum. Karena itu, permasalahan politik termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Tugas cendekiawan muslim adalah berusaha secara terus menerus untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Inilah yang dilakukan empat khalîfah sesudah Nabi, sehingga walaupun mereka berada dalam rangka pengamalan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahnya berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam rangka menyusun teori politik Islam mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Sebab struktur negara akan berbeda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami.
Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu sepanjang negara berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah:
- Keadilan (QS. 5:8) Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa.
- Musyawarah (QS. 42:38) Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.
- Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110)
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah. - Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.
- Keamanan (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.
- Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).
Penulis berkeyakinan, apabila prinsip-prinsip di atas benar-benar ditegakkan dalam sebuah negara, tanpa melihat simbol atau bentuk legal-formal negara itu sendiri maka apa yang Allah telah lukiskan dalam al-Qur'ân surat Saba' ayat 15 akan dapat dirasakan. Firman Allah tersebut:
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): Makanlah olehmu rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun (QS. 34:15).
Apa yang dikatakan Ibn Taimiyah, negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan suruhan agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Jadi, kalau negara adalah alat yang perlu untuk menegakkan agama, maka manusia tentu tidak akan menggunakan alat yang sama dari suatu masa ke masa yang lain. Suatu alat dalam makna yang lazim dipahami mungkin akan lebih canggih berbanding dengan alat yang lain yang dipergunakan di masa silam meskipun keduanya dipergunakan untuk mencapai maksud yang sama. Tuhan akan melanggengkan suatu negara yang menjaga prinsip keadilan, walaupun negara tersebut secara formal bukan negara Islam. Tetapi sebaliknya, Tuhan akan menghancurkan apabila nilai-nilai tersebut dikesampingkan.
Al-Qur'ân maupun sunnah tidak memiliki preferensi terhadap sistem politik yang mapan untuk menetukan bentuk legal-formal negara yang ideal. Islam hanya memiliki seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan rujukan dalam penyelenggaraan negara yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Persoalan politik (negara) lebih merupakan urusan kreatifitas manusia, atau kerangka wilayah fiqh yang perlu dilakukan ijtihad. Sebagai wilayah fiqh maka setiap rumusan dan interpretasi yang dihasilkan tentu berbeda, karena paradigma yang digunakan pun juga berbeda.
Sepanjang negara berpegang kepada nilai-nilai yang ada dalam al-Qur'ân maka pembentukan "negara Islam" dalam pengertian yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Yang penting adalah substansinya, artinya nilai-nilai al-Qur'ân seperti, musyawarah (syûrâ), keadilan ('adâlah), persamaan (musâwah), hak-hak asasi manusia (huqûq al-adamî), perdamaian (shalâh), keamanan (aman) dan lain-lain bisa direalisasikan dalam konteks bernegara. Sehingga pada akhirnya baldatun toyyibatun wa robbun ghafur bukan hanya sekedar ide dan cita-cita, tetapi sebuah realita yang bisa dirasakan.
'Imârah, Muhammad,
al-Islâm Wa Ushûl al-Hukm Lî 'Ali 'Abdur Râziq (beirut: Dâr al-Fikr, 1972)
Al-Qur'an al-Karim,
terj. Departemen Agama, RI, 2000
Effendy, Bahtiar,
Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998)
Jindan, Khalid Ibrahim,
Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995)
Khan, Qamaruddin,
Political Concepts in the Qur'an (Lahore: Islamic Book Foundation, 1982)
______________,
Pemikiran politik Ibn Taimiyah, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1995)
Madjid, Nurcholis,
Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992)
Mahendra, Yusril Ihza,
"Islamika Jurnal Dialog Pemikiran Islam" (kerja sama Mizan dan Missi, Januari-Maret 1994), No. 3.
Masdar, Umaruddin,
Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Nasution, Harun,
Teologi Islam, Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986)
Pulungan, J. Suyuthi,
Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
Rahman, Fazlur,
Islam (New Tork: The Chicago University Press, 1966)
Shiddiqi, Nourouzzaman,
Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996)
Sjadzali, Munawir,
Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991)
Surbakti, Ramlan,
Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992), 2.
Syamsuddin, M. Din,
"Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik Islam", ed. Abu Zahra dalam Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Thaba, Abdul Azîz,
Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
0 komentar:
Posting Komentar