Budaya Di Desa Cibuntu Tentang Mitos Menonton Wayang Golek
Sebelum saya menjelaskan tentang budaya mitos menonton wayang golek, saya akan memaparkan sedikit kondisi Desa Cibuntu tersebut.
Pertama-tama, saya akan menjelaskan jumlah penduduk Desa Cibuntu secara keseluruhan yaitu menurut ketua budaya di Desa Cibuntu ada 4.333 orang dan yang kepala keluarga ada 1.277, itu terdiri dari laki-laki dan perempuan secara keseluruhan. Dan kebanyakan penduduk asli Desa cibuntu dan sebagian ada dari kota yang berbeda yang tinggal di Desa Cibuntu dan menetap di Desa Cibuntu, seperti dari Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Depok, Bogor dan lain-lain.
Keagamaan di Desa Cibuntu cukup terbilang kental semisal cara mereka bepakian yaitu pada tertutup dan ada juga sebagian tidak memakai kerudung kalau keluar rumah mereka, dan cara bergaul baik anak mudanya yaitu di batasi. Namun, meskipun di desa cibuntu notabene berbasis “Islam” tapi saya merasa meskipun di desa cibuntu Ustadznya banyak, tapi sebagian para pemudanya kalau misalakan ada hiburan apalagi kalau ada hiburan wayang golek suka kacau dan ada yang mempergunakan kesempatan itu untuk mabuk-mabukan dan menggunakan narkoba dan narkotika. Padahal penjelasan mingguan di tiap mesjid suka dilaksanakan. Yah…mungkin namanya juga pemuda zaman sekarang. Katanya mumpung lagi masa muda, sudah tua pasti bau tanah.
Ini, terjadi karena kurangnya timbul kesadaran dari para pemuda, mereka hanya berfikir kesenangan sesaat. Tetapi kalau hari biasa tidak ada hiburan para pemuda biasa saja tidak ada istilah mabuk-mabukan dan pada baik-baik, kecuali kalau para pemuda sudah pulang dari kota habis merantau, mereka suka pesta mabuk-mabukan. Tapi, sekarang lumayan sudah agak berkurang.
Lingkungan di desa saya cukup aman dan nyaman, bahkan di desa cibuntu udaranya sangat sejuk. Karena belum banyak volusi. Ya…maklum kan agak kampung dan agak jauh dari kota dan budayanya masih kuat. Tapi sekarang agak kekotaan mungkin mengikuti perkembangan zaman yang sudah modern.
Keadaan ekonomi di desa cibuntu yaitu sederhana, karena kebanyakan para petani, dan ada sebagian yang menjadi guru di sekolah, berdagang dan merantau ke luar kota, penjahit dan lain sebagainya. Tetapi semuanya itu tidak terlepas dari bertani.
Frofesi beragam, sektor formal dan informal. Di desa cibuntu banya yang bekerja di sektor informal dan tidak sedikit juga yang bekerja di sektor formal. Karena di desa cibuntu kebanyakan sekolahnya SD, tapi sekarang banyak sampai SMP karena baru selesai di bangun sekolahnya di desa tersebut, sebagian juga tamat sampai SMA, dan masih jarang yang sampai serjana, kecuali orang yang punya biaya dan mampu. Dan di desa cibuntu kebanyakan yang menikah muda bagi perempuan karena apa?, katanya” buat apa sekolah tinggi apalagi buat perempuan pasti bakal kedapur”. Tetapi, buat laki-lakinya tidak seperti itu yang mempunyai biaya pasti dilanjutkan kalaupun tidak mereka memilih bekerja baik jadi pedagang ataupun penjahit dan kebanyakan suka merantau keluar kota bagi laki-laki dan kalau perempuannya di desa cibuntu banyak yang jadi tenaga kerja wanita ke luar negeri seperti: Arab Saudi dan Malaysia. Karena pemuda dan pemudi kalau jadi petani mungkin sangat geengsi dan memelih pekerjaan tersebut. Tapi, kalau perempuan sangat disayangkan. Karena meninggalkan suami dan anaknya di rumah. Jadi, istri yang berkerja jadi TKW sedangkan suami mengasuh anak dirumah.
Keadaan kriminalitas, mungkin kalau seperti pembunuhan tidak ada, ada juga seperti kehilangan oleh maling, dan malingnya juga bukan berasal dari desa terebut. Kecuali suka ada ngambil punya orang tuanya sendiri. Di desa ini tidak ada kejadian pemerkosaan, perampokan dan lain sebagainya.
Kehidupan sosial dan politik cukup sadar. Cukup sadar disisni adalah masyarakat desa ini mereka tahu perkembangan politik di Indonesia. Karena suka melihat di televisi, kalau membaca Koran masih jarang, karena di sibukan dengan bertani kesawah. Mungkin itu sedikit penjelasan tentang desa cibuntu.
sekarang beralih kepada mitos menonton wayang golek…………….
Wayang golek ini adalah si Cepot, dan ini favorit di desa ci buntu dari mulai anak yang sudah mengerti apalagi kakek nenek itu akan lebih tau.
Ini adalah gambar-gambar wayang golek….
1. Budaya dari Segi Ontologi
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berfikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Ada orang yang berbahasa ular, cara menguburkan orang-orang yang mati, itu semua karena karena mereka telah dilahirkan atau sekurang-kurangnya telah di besarkan dalam suatu budaya yang mengandung unsur-unsur tersebut.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya dapat didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan , pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang di peroleh sekelompok besar dari generasi ke generasi melaui usaha dan individu dan kelompok.
Budaya menampakan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dala suatu masyarakat di suatu lingkungan tertentu. Budaya sangat berkenaan dengan sifat dan objek-objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehiupan sehari-hari.
Budaya meliputi semua peneguhan perilaku yang diterima selama suatu periode kehidupan. Budaya sangat mempengaruhi kehidupan kita. Sebagian besar pengaruh buday terhadap kehidupan kita tidak kita sadari. Mungkin suatu cara untuk memahami pengaruh budaya adalah dengan membandingkannya computer elektronik. bud aya kita secara pasti mempengaruhi sejak dalam kandungan hingga mati dan bahkan setelah mati pun kita di kuburkan dengan cara-cara yang sesuai denga budaya kita.
Budaya menurut ketua budaya desa Cibuntu yaitu suatu kebiasaan kita, baik itu berupa ucapan, sikap, perilaku dan cara berbicara yang berbeda, yang menghasilkan suatu budaya tersebut.
2. Mitos Menonton Wayang Golek
Saya disini mengambil judul tentang budaya yang ada mitosnya yang ada di desa Cibuntu jadi secara keseluruhannya karena semuanya warga desa cibuntu suka menonton wayang golek, dari mulai anak kecil sampai kakek-nenekpun pasti suka ada yang melihat.
Desa ini agak jauh dari perkotaan kalau istilah di desa cibuntu yaitu kampung yang masih geledegan dan agak aheng dan banyak tahayulnya. Tetapi sekarang tidak terlalu kampung, karena sudah mengikuti perkembangan zaman. Yang alamatnya ada di Pelabuhan ratu, kecamatan Simpenan, desa Cibuntu.
Saya akan memaparkan tentang menonton pertunjukan wayang golek. Di desa ini biasanya kalau misalkan pengen hiburan wayang golek, sebelumnya harus persiapan yang matang. Dan tidak sembarangan orang bisa nanggap wayang golek. Pertama harus banyak uang, terus harus menebang pohon kelapa yang diambil adalah humutnya, sebagai salah satu syarat buat masak, karena sekarang humut kelapa itu agak jarang dipakai buat masakan, tapi di desa ini kalau hajatan pasti harus ada humut dari pohon kelapa, dan membikin kue cuhcur, mungkin sekarang humut dan kue cuhcur sudah jarang, tapi di desa cibuntu kalau setiap acara pasti ada. Karena, itu buat mantra-mantra atau hadiah kepada karuhun-karuhunnya dan berdo’a kepada Allah Swt, agar acara ini lancar sampai selesai. Dan itu sangat membutuhkan uang yang banyak dan persiapan buat sohibul hajat. Karena di desa ini masih jarang kalau misalkan hajatan nanggap wayang golek. Kecuali acara kenaikan kelas SD itu juga digabungin sama SMP. Baru bisa menanggap wayang golek.
Di desa ini, sebelum acara wayang golek di mulai yaitu megadakan ritual dulu buat para karuhun dan membakar kemenyan. Dan si kemenyan itu di simpan di setiap ujung panggung. Karena kalau tidak membakar kemenyan ditakutkan ada kejadian yang aneh, itu bisa mengacaukan suasana wayang golekan. Dan sebelum di mulai lelakonnya, sinden itu wajib harus menanyikan lagu “daun pulus” dan “kidung”. Karena kalau tidak dinyanyikan menurut kepercayaannya atau tahayulnya pajajaran (yang berupa harimau atau meong kata orang disana) akan mengamuk, pasti akan ada kejadian yang aneh yang tidak diharapkan oleh penonton.
Dan katanya pajajaran itu suka ada di tempat acara wayang golek, cuma diamnya ditempat yang sepi dan sunyi bukan dikeramaian orang-orang. Dan pajajaranpun menyaksikannya sambil menari (istilah desa ini yaitu pada joged) ketika mendengarkan lagu itu dan katanya menyaksikannya suka sampai selesai. Dan sampai sekarang lagu “Daun Pulus” dan “Kidung” harus dinyanyikan setiap acara wayang golekan.
Dan di desa ini kalau misalkan menonton wayang golek katanya harus sampai selesai, karena kalau misalkan tidak sampai selesai atau pulang tengah-tengah sedangkan lelakonnya belum selesai. Katanya suka di cegat sama pajajaran dan katanyan itu pernah kejadian dan pajajaran datang menghampiri kita dalam bentuk meong atau harimau yang menyeramkan. Jadi bukan Cuma omongan orang tua dulu saja, ya mungkin seperti menakut-nakuti, tapi katanya memang benar. Dan kakek saya juga katanya pernah kawinihan atau kebetulan ketemu dengan pajajaran, karena pulangnya tengah-tengah tidak sampai selesai. Pasti di desa ini sangat ketakutan sekali, katanya: mendengarnya juga sudah merinding apalagi melihat dengan mata kepala sendiri. Makanya di desa ini kalau misalkan melihat pertunjukan wayang golek suka sampai selesai yaitu mulai sudah isya sampai jam 3 atau jam 4, tergantung shubuhnya jam berapa. Karena takut mendengar tahayul tersebut. Dan tidak ada yang pulang tengah-tengah sebelum pertunjukan selesai.
Mungkin itu mitos menonton pertunjukan wayang golek di desa cibuntu.
3. Fungsional
Secara fungsionalnya atau yang ujung-ujungnya menjadi sekularisme yang menyampingkan agama, di desa ini tidak seperti itu dan tetap mendepankan agama. Karena di atas sudah dijelaskan di desa ini masih kental agamannya dan tentang pertunjukan wayang golek itu Cuma tahayul atau mitos di desa cibuntu. Karena, dulu desa ini masih geledegan jauh kemana-mana dan agak aheng, pasti tentang percaya yang gituan juga agak kental.
Mungkin untuk sekarang tidak terlalu mempercayainya yaitu ada sedikit perubahan apalagi buat anak muda zaman sekarang. Katanya: ngapain percaya kaya gituan itumah zaman dulu saja yaitu zaman kakek-neneknya. Mereka juga percaya tentang adanya alam gaib, tetapi tidak di pertunjukan wayang golek. Ya sekarang katanya tidak seperti itu. Soalnya kata pemuda sekarang yang pernah nyobain pulang tengah-tengah katanya tidak nemuin apa-apa atau bertemu dengan pajajaran (meong). Ya… biasa-biasa saja. Dan sekarang di desa ini jarang yang nanggap wayang golek karena terlalu mahal.
Misalkan sekarang, kalau ada wayang golekan, mau pulang tengah-tengah atau sampai selesai katanya tidak kenapa-napa, tergantung orangnya mau pulang kapan. Mungkin sekarang sudah agak pudar tentang tahayul atau mitos tesebut dikalangan para pemuda. Tapi buat orang tua sebagiannya, mungkin masih percaya tentang tahayul tersebut. Karena sekarang golekan itu kebanyakan dangdutan dan acara lelakonnya sudah malam dimulainya dan sekarang nunggu datangnya si Cepot itu harus nunggu sampai larut malam. Dan sicepot itu favorit di desa cibuntu. Kan kalau dulu paling nyanyiin lagu syaratnya yaitu daun pulus sama kidung, habis itu langsung ke lelakonnya cerita wayang golekan.
Tapi sekarang dangdutan dulu, dan banyak anak muda atau bapak-bapak yang suka nyawer ke panggung dan ke cerita lelakonnya itu lama. Tetapi tetap lagu daun pulus dan kidung wajib dinyanyiin sampai sekarang. Dan misalkan mau golekan wayang golek manapun tetep harus di kasih tau sebelumnya tentang nyanyian tersebut.
Dan sekarang tentang mitos mononton pertunjukan wayang golek di desa cibuntu sudah pudar. Jadi saya tidak perlu repot untuk mengingatkannya. Karena hilang dengan sendirinya sesuai dengan perkembangan zaman.
Demikianlah mitos menonton pertunjukan wayang golek di desa ci buntu Pelabuhan Ratu Sukabumi
4 komentar:
Ceritanya Kaya kereta api...
Singkat padat itulah yg kucari.
Sama di Lengkong Wetan, Serpong juga kayak gitu masih percaya akan mitos seperti itu, serem juga dengernya, omongan orang tua dulu emang harus di denger dipahami, di resapi biar ngga kualat ya.
Sama di Lengkong Wetan, Serpong juga kayak gitu masih percaya akan mitos seperti itu, serem juga dengernya, omongan orang tua dulu emang harus di denger dipahami, di resapi biar ngga kualat ya.
Dahulu sy juga sering mendengar mitos ini sampai akhirnya sy putuskan berguru jd dalang dan bertanya2 seputar mitos tsb...memang benar tp untuk acara2 tsb saja yg tidak boleh pulang sebelum selesai pertunjukan,misalnya acara ruwatan pantai,danau dsb...klw untuk acara hajatan2 biasa boleh2 saja karena yg di tunjukan adalah untuk menghibur yg punya hajat sedangkan ruwatan2 ditunjukan untuk menghibur para lelembut...itu yg sy tahu dan saya dapatkan dari para tokoh pedalangan senior saya.
Posting Komentar